Chapter 18

5.5K 1.1K 195
                                    


Dia menangis.

Hari ini aku berangkat sendiri karena Bia menangis dan menolak ke sekolah. Dia bahkan mengurung diri di kamar dan menolak makan. Semua hanya karena tas yang sobek itu. Sungguh cengeng.

Seperti kebiasaan, begitu menutup pintu mobil dan Pak Darto berpamitan pergi, aku menyumpal kedua telinga dengan earphone, tanpa musik. Hanya agar aku bisa berjalan tenang tanpa seorang pun peduli atau berusaha menegurku.

Dan itu berhasil, seperti biasanya. Tidak ada hal yang istimewa yang terjadi hari ini. Kecuali, jika berpapasan dengan Pandawa dapat dimasukkan ke dalam kategori itu. Langkahku terhenti seiring langkahnya yang mendekat. Sayangnya, dia tidak melihatku. Tidak mengenaliku. Aku seperti angin baginya.

Kenangan tentang senyumnya yang dulu menlintas di benakku, tetapi tidak pernah kulihat lagi. Ia berlalu dengan cepat. Bahkan ketika ku berhenti di tempat dan berbalik. Hanya untuk menatap punggungnya.

"Mau ke kelas?"

Seseorang menyapa. Aku menoleh dan menemukan salah satu anak perempuan di kelasku, Candy, berdiri di depanku. Sial, penyumbat telinga rupanya tidak berfungsi sempurna.

Aku mengangguk dan dengan antusias, dia kemudian berujar, "Bareng, yuk! Yuk!" Seraya memindahkan kotak susu pisang di tangan kanannya ke tangan kiri, sebelum tangan kanannya yang kini kosong meraih tanganku untuk berjalan bersama. "Bentar lagi bel!"

Aku tidak punya alasan untuk menolak. Sehingga yang dapat kulakukan, hanya mengikutinya. Membiarkan anak ini menyeretku sepanjang koridor meskipun tubuhnya lebih kecil dariku.

Selanjutnya, kami meniti tangga menuju lantai dua, kali ini dengan lebih hati-hati. Aku tidak mengatakan apa-apa, tetapi dapat kurasakan kegelisahannya, juga tatapannya yang jatuh padaku. Setelah mendiamkannya selama beberapa waktu, aku pun menoleh, menangkapbasahnya di tempat. Like a deer getting caught in the spotlight. Membuatnya seketika gelagapan.

"A-anu...," mulainya, jemarinya saling bertautan gelisah di sekitar kotak susu pisang yang ia naikkan setinggi dagu. Tetapi aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya menunggu.

Ia menggigit ujung sedotan. "Aku denger gosip soal kamu dan ... uh, Kak─"

Aksal. Aku dapat membaca arah pembicaraan ini dengan mudah. Hanya saja, ini bukan arah yang kuinginkan. Untungnya, aku terhindar dari kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu karena sebuah suara menginterupsi.

"Dedeeeek!"

Kami menoleh ke sumber suara secara bersamaan. Cowok dengan tinggi yang hampir menyentuh bagian atas pintu kelas, rambut tertata sempurna, wangi yang tercium dari jarak sekian meter, serta wajah menyebalkan. Jenis wajah yang dimiliki oleh anak laki-laki yang sadar bahwa dirinya tampan. Dia Navy, gitaris The Effects, memoriku meningat samar-samar.

Navy mendekat ke arah kami dengan mantap. Tetapi tatapannya tidak tertuju padaku. Tatapannya, seluruhnya, fokus kepada Candy.

Candy gelagapan, ia meraih tanganku, lalu menarikku untuk berbalik sembari berbisik. "Kita puter balik, yuk! Jalan di sini bahaya!"

Tetapi dia bahkan tidak berhasil menyeretku jauh-jauh, karena tas ransel yang disandangnya telah tertangkap oleh cengkeram Navy, membuatnya tidak bisa lari kemana-mana.

Candy pun berbalik dan memasang wajah ... galak, mungkin, seharusnya. Tetapi bagiku dia lebih terlihat seperti sedang mengalami konstipasi.

"Apaan, sih?!" Omelnya galak.

Namun Navy hanya menyengir. "Minta," katanya, lalu dengan entengnya meraih kotak susu pisang milik Candy dan meminumnya. Hingga tandas. Hingga terdengar bunyi seruput pada wadah yang telah kosong.

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang