Dia menjadi pendiam hari ini. Bia. Sepanjang perjalanan, baik ketika diantar maupun dijemput, yang dia lakukan hanya duduk memandang keluar jendela tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hal ini ... sangat tidak biasa. Kediamannya membuatku risih.
Tetapi aku juga tidak ingin mencoba memulai obrolan. Jadi aku mendiamkannya. Ketika mobil berhenti di halaman rumah, aku lebih dulu keluar. Biasanya, Bia akan memanggilku, lalu berusaha menggandeng lenganku agar masuk rumah bersama, yang biasanya akan berusaha keras kuabaikan. Tetapi hari ini tidak. Dia turun, diiringi suara mobil yang dibanting tertutup. Lalu, dia berjalan cepat, melewatiku. Menyenggol bahuku, bahkan, tanpa mengatakan apa-apa.
"Non Bia sudah pulang?"
Dia juga tidak menggubris Bi Nur yang tergopoh-gopoh menyambanginya. Tas yang rusak itu di tangan.
"Non, non. Ini Bibi sudah jahitkan tasnya. Memang warnanya sudah luntur, tapi siapa tahu Non Bia masih mau? Masih bagus, kok, Non. Bisa dipakai!"
Bia berhenti, menatap tas itu. Lantas ... merobeknya.
"BIA NGGAK MAU!" Tiba-tiba dia berseru marah. "Buang aja, Bi!!!"
Lalu, dia berjalan cepat dan membanting pintu kamar di belakangnya, membuat Bi Nur yang menyusul di belakang terlonjak kaget. Wanita paruh baya itu masih dengan sabarnya mengetuk-ngetuk pintu kamar Bia, membujuknya untuk keluar.
Aku meneruskan langkah. Alih-alih ke kamar, aku berjalan menuju kolam renang di samping rumah. Ada taman kecil yang mengelilinginya, dengan meja kayu berkanopi. Mama duduk di sana, berselonjor. Ponsel dijepit di antara pundak dan telinga, serta majalah kecantikan terbuka di atas paha.
"Berlian, ya? Wahhh bagus dong. Keren, deh," serunya di telepon. "Aduh, aku nggak enak kalau minta-minta gitu sama Masku, Mith," kekehnya. "Habis, Mas itu kalau aku minta satu cincin berlian, bisa dibeliin sepuluh kayaknya. Bucin banget orangnya!"
Tawanya menggema. Bahkan ketika aku berdiri tepat di hadapannya, dia tidak buru-buru menutup telepon. Aku harus menunggu setidaknya lima menit, hingga dia mengakhiri obrolannya dan menatapku.
"Kenapa Mama ngelakuin itu?" tanyaku langsung. Aku benci basa-basi.
"Ngelakuin apa?"
Aku membuang napas yang terdengar seperti dengkusan dan tawa hambar. Wanita ini pintar sekali berakting polos. Pantas dia dengan mudah mendapatkan setiap laki-laki yang dia mau.
"Nggak usah belaga goblok."
"Hush! Jaga mulut kamu!"
Dia menegakkan tubuh dan melepas kaca mata hitamnya, menatapku tepat di mata.
"Kamu yang harusnya jangan goblok!"
Keningku pasti berkerut, karena dia kemudian tertawa dan melanjutkan. "Mama perlu ngelakuin itu. Biar dia nggak ngelunjak."
Kemudian, dia mencengkeram pergelangan tanganku. Erat. "Kamu itu darah daging Mama. Kamu juga harus kayak gitu. Jangan lemah, Isa! Jangan mau diinjak sama anak babi kayak gitu."
"Aku bisa ngurus diri sendiri."
Mama tertawa hambar. Dia berdiri dengan pelan dan melepaskan tanganku. "Memang kamu pikir kamu itu besar sendiri? Kamu bisa ngasih susu buat diri sendiri waktu bayi? Enggak. Mama yang ngebesarin kamu. Nggak usah ngebantah!"
Tidak usah membantah, katanya. Well, sayangnya, aku benar darah daging Mama. Aku bukan gadis penurut. Aku bukan gadis baik-baik. Aku lebih suka meludah di wajahnya. Wajah wanita yang katanya memberikanku susu itu.
"Susu dari hasil ngejual diri?"
Terlihat, bibir Mama terkatup rapat. Tatapannya tajam. "Apa?" katanya pelan, seolah meyakinkan diri. Lalu, tahu bahwa aku tidak bercanda, dia mulai melancarkan ancaman.
"Jaga ucapan kamu," ujarnya, penuh penekanan di setiap kata. "Mama ngelakuin itu buat kamu! Mama terpaksa ngelakuin semua itu buat kamu!"
Aku tersenyum. Wanita ini benar-benar ... lucu. Kurasa otaknya bermasalah.
"Mama punya tangan, kan? Punya kaki, kan? Tapi apa nggak punya otak?" seringaiku. "Ada banyak, banyak banget kerjaan di dunia ini. Ngupas bawang, jadi kuli panggul, jualan es. Nggak ada istilah terpaksa jual diri! Yang ada, Mama terpaksa jual diri, karena itu satu-satunya kerjaan yang ngasilin duit instan dan gampang. Tinggal ngangkang!"
Sebuah pukulan mendarat di pipiku.
Panas. Seketika rasanya panas. Tetapi tidak lebih. Entah sejak kapan, sistem imunku membuatnya tidak lagi terasa menyakitkan.
Aku mengambil satu langkah mundur, puas dengan reaksinya.
"Sepertinya kali ini Mama dapat jackpot, ya. Tapi ... nyatanya Mama tetap aja ... serakah."
Kemudian, aku berbalik. Aku tidak peduli dengan wajah murkanya. Atau cara dia berteriak-teriak memanggilku. Aku sudah cukup puas. Senang, malah. Aku berharap ... suatu hari aku juga bisa menyakiti Mama.
Seperti yang dia lakukan padaku selama ini.
***
Atau mungkin ... aku salah.
Karena ketika aku kembali ke kamar dan menghadap cermin, pipiku memerah. Perasaan marah, puas, senang, semua euforia itu menghilang begitu saja. Digantikan rasa perih di pipiku. Dan ...
Dan kekosongan.
Rasanya hampa. Benar-benar hampa hingga sesak.
Aku merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit yang berwarna putih kosong. Tidak ada apa-apa di sana. Seperti itu juga ... aku, perasaanku. Sejak awal .., aku tidak punya apa-apa. Tidak punya siapa-siapa. Aku bersandar pada diriku sendiri. Menopang diriku sendiri.
Dan jika kupikir aku dapat terbiasa dengan itu, mungkin kali ini aku salah.
Karena kali ini ... aku merasa kesepian. Aku ingin menangis. Aku ... juga ingin ditopang. Kesendirian ini melelahkan.
Dan ponselku berbunyi.
Tidak ada suara ketika aku mengangkatnya. Aku juga tidak mengatakan apa-apa, sehingga selama hampir satu menit, yang dapat kudengar hanya suara statis, serta samar bunyi halaman yang dibalik.
Lalu, suaranya mengisi.
"Isa?"
Aksal. Aku mengetahuinya begitu saja tanpa melihat kontaknya di ponselku.
"Ada apa?" balasku.
"... Enggak ada," katanya setelah beberapa detik. "Kamu sudah pulang?"
Tadi siang dia tidak berdiri di depan kelasku. Ia sudah memberitahuku semalam. Ada rapat OSIS yang tidak bisa ditinggalkan. Meskipun sebenarnya aku tidak mengerti tujuannya mengantarku sementara aku sudah memiliki akses antar jemput sendiri.
"Ya."
Lalu hening kembali.
"Kamu ... mau ngomong apa?" Akhirnya, aku bertanya.
"Enggak ada," terdengar bunyi gerakan samar di belakang sana, seperti posisi bantal yang dipindah, yang disusul suara napasnya. "Saya cuma mau nelepon. Haruskah saya tutup?"
Jawabannya ya. Aku akan selalu menjawab ya jika di lain waktu dia menanyakan ini.
Tetapi sekarang, alih-alih mengatakan itu, aku membisikkan yang sebaliknya.
"Stay."
Dia tidak menanyakan kenapa. Tidak berkomentar apa-apa. Yang dapat kudengar, hanya deru samar napasnya, bunyi halaman yang dibalik, atau benda-benda yang dipindah. Tetapi sambungan tetap menyala dan aku memejamkan napas.
Sekarang ... rasanya tidak begitu kesepian lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022