Isa turun segera setelah motor yang dikendarai Aksal berhenti di tepi jalan. Lebih tepatnya, di depan gerbang sebuah rumah besar berlantai dua.
Sembari mencopot helm, Isa memerhatikan rumah itu. Warnanya didominasi putih dan abu bebatuan dengan beberapa pohon hias yang tingginya nyaris menyentuh balkon kamar di lantai atas. Begitu gerbang itu dibukakan oleh seorang petugas keamanan berseragam serba hitam, Isa dapat melihat taman yang terawat, yang cukup luas, jalan masuk yang didesain dengan baik, dan beberapa mobil berjejer.
"Kita ... dimana?' Isa bertanya ragu.
"Rumah saya. Masuk, yuk."
Sesaat, Isa lupa membuat dirinya tidak memelotokan mata. Benar kata orang, kekayaan Aksal memang ... luar biasa. Bahkan untuk ukuran dirinya yang sudah sekian bulan tinggal di rumah Bia.
Aksal menenteng paper bag yang semula ia gantung di motor sebelum memimpin Isa untuk berjalan masuk. Dia tidak berjalan cepat, alih-alih dia sekaan menunggu Isa untuk mengimbangi langkah. Hingga, mereka berjalan nyaris bersisian.
Selain petugas keamanan di gerbang tadi, sekilas Isa melihat seorang pria yang tengah memotong rumput di bagian samping rumah. Aksal membuka pintu dengan kedua tangannya sendiri─tidak seperti bayangan Isa bahwa akan ada setidaknya dua orang pembantu membukakannya gerbang lalu sepuluh orang lain berjejer menyambut, tidak seperti itu. Rumah itu terlihat luas, tetapi sekaligus sepi. Bahkan ketika Aksal mengucap salam, tidak ada yang ada di sana untuk menyahut.
Barulah ketika cowok itu berjalan ke arah dapur, yang diikuti Isa, ia menemukan seorang wanita yang memakai daster dan celemek.
"Aden pulang. Mau makan?" tanya wanita itu, lalu menatap Isa dan tersenyum. "Mau minum apa, Non?"
Aksal mengibaskan tangan. "Nanti. Saya bikin sendiri aja. Ayah mana?"
"Ada. Bapak di kamarnya. Mau saya antar ke sana?"
Aksal tersenyum dan menggeleng. Ia membiarkan wanita itu berlalu, melanjutkan kegiatannya entah apa. Ia sendiri berjalan ke dapur. Tangannya dengan gesit meletakkan bungkusan di konter, meraih piring, juga dua buah gelas. Isa sempat terkagum-kagum dengan gerak cekatan cowok itu, seolah ia amat terbiasa. Sehingga ketika Aksal berbalik menatapnya dan melempar pertanyaan paling sederhana, Isa menjadi gelagapan.
"Kamu mau minum apa?"
"A-hm. Ga usah. Eh, terserah aja."
Aksal menatapnya dengan satu kening terangkat dan senyum di bibir, seolah menganggap tanggapan gadis itu lucu. Yang langsung diprotes Isa dengan melebarkan matanya galak.
"Apa?"
Dan kembali dibalas Aksal dengan tawa kecil. Cowok itu menuangkan untuknya segelas jus jambu yang ia ambil dari kulkas. Lalu dia mulai memindahkan kue dari kotak yang ia bawa ke atas piring. Mereka sempat mampir ke toko kue tadi. Aksal membeli sebuah kue ulang tahun kecil yang Isa tidak tahu untuk siapa. Cowok itu menancapkan satu lilin di atas kue, lalu menyulutnya.
Menemukan tatapan Isa yang penasaran, Aksal tersenyum.
"Ayah saya ulang tahun hari ini," katanya.
Lima menit berikutnya, Isa sudah berdiri di depan sebuah pintu kayu ganda yang sepertinya merupakan pintu menuju kamar utama di rumah itu. Ia sendiri tidak mengerti kenapa dengan mudahnya mengikuti Aksal, tetapi di sinilah dia sekarang.
Aksal mengetuk pintu sebentar, lalu, dia membukakannya sendiri lebar-lebar. Kamar yang luas menyambut Isa, dengan sebuah tempat tidur besar di satu sudut dan sudut lainnya dipenuhi rak buku dan sebuah meja kerja. Pria itu duduk di atas kursi rodanya, menghadap rak buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022