Catatan: Di sini timelinenya Aksal sama Riam belum baikan, ya. Terus adegan Iyam-Una cuma sekilas. Tapiii kalau yang mau baca lengkapnya, bisa baca di Karyakarsa aku, ya (nayahasan). Dari momen lucu sampai momen uwu ada di sana. Puas deh, bacanya.
PS: We are getting close to Aksal-Isa sweet and sweet moments.
Happy reading!
***
"Kak Riam!"
Laki-laki yang dipanggil Riam itu tinggi, seperti Aksal. Dengan bahu tegap dan rambut hitam yang rapi, kontras dengan kulitnya yang pucat. Dia tampan. Mungkin seumuran Aksal, atau sedikit lebih tua.
Aksal nyaris secara spontan berjalan cepat ke arahnya, mengakibatkan genggaman tangan kami terlepas. Memberi jarak di antara kami. Sementara aku tertinggal di belakang, terlalu takut untuk memasuki wilayah yang sepertinya bukan tempatku.
"Kak Riam apa kabar?" Aksal bertanya ramah, hampir terdengar ceria, dengan senyum di wajahnya. "Kebetulan banget ketemu di sini."
Sepertiku, Aksal melihat ke balik pundak laki-laki bernama Riam itu. Baru menyadari bahwa dia sedang bersama seorang perempuan. Perempuan yang memiliki aura seratus delapan puluh derajat berbeda dari Riam.
Jika pria yang Aksal panggil Riam ini terlihat tenang dengan tatapan yang tegas dan dingin, gadis itu memiliki senyum dan pembawaan yang hangat. Nyaris mengingatkanku pada Bia. Dia mengangkat tangannya bersemangat dan menjadi orang yang justru membalas sapaan Aksal.
"Halo! Adeknya Iyam, ya?! Ya ampun!!! Akhirnya kita ketemu juga! Aku pernah denger cerita soal kamu, loh!" katanya berapi-api. "Wah, kamu ganteng banget, ya! Tinggi kayak Iyam! Kalian makannya apa, sih? Kok bisa tinggi banget kayak gitu? Bener, ya, kalau ngemil mi lidi bisa bikin tinggi kayak lidi?!"
Aku dapat mendengar Aksal terkekeh. Gadis itu bicara dengan cepat, dengan menggebu-gebu. Membuatku bertanya-tanya darimana dia mendapat semua energi itu.
"Hai," balas Aksal. "Pacarnya Kak Riam, ya?"
Gadis itu mengulurkan tangan. "Kenalin! Una! Panjangnya Skala Aluna tapi kamu panggil aja Una. Atau Una gemoy juga boleh!"
Tetapi sebelum tangan Aksal yang ikut terjulur berhasil menjabat tangan gadis itu, Riam menariknya, menyembunyikannya di belakang tubuh. Tatapannya dingin. Terlalu dingin.
"Gue rasa ... kita nggak seakrab ini. Lebih baik pura-pura tidak melihat."
Sedingin ucapannya.
Dan begitu saja, dia pergi, menarik gadis itu bersamanya. Tidak sekalipun, bahkan ketika punggungnya nyaris menghilang dari pandangan, ia berbalik. Seolah apa yang baru saja dia ucapkan sama sekali tidak keterlaluan. Seolah tidak ada apa-apa. Sementara di sini, Aksal menatap kepergiannya tanpa berkedip.
Melihat pundaknya yang jatuh, punggungnya yang tampak kesepian, aku nyaris dapat merasakannya. Rasa hancur. Seolah ... jika aku menyenggolnya sedikit saja, dia bisa retak dan hancur menjadi kepingan.
Jadi aku mengambil langkah maju. Dan ... menyelipkan jemariku di antara jemarinya.
Setidaknya, jika dia merasa akan hancur, dia bisa menjadikanku sebagai pegangan. Agar tidak jatuh sendirian.
Aksal menoleh padaku. Senyum yang dia berikan kemudian, belum pernah kulihat sebelumnya. Senyum tipis yang seakan menyimpan luka.
"Mau pulang sekarang?" tanyanya.
Jika kami pulang sekarang, aku akan bisa tidur dengan tenang. Dan dia akan sendirian. Terluka.
Aku menggeleng. Memantik kerutan di kening Aksal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022