100 votes dan komen langsung double update, deh!
***
Hari berlalu. Aku harus belajar dua kali lipat lebih banyak karena perbedaan materi ajar sekolah baru dan lama membuatku tertinggal di belakang. Sekolah baruku memiliki lab yang lengkap dan perpustakaan yang luas, berbeda dengan ruang sempir berbau apak di sekolahku yang lama. Kelasku masih sama, amat berisik, tetapi amat lapang ketika semua orang telah pulang dan aku sendirian di kelas.
Topik tentag The Effects rasanya tidak terhindarkan. Di kelas, di kantin, di koridor, hampir di seluruh tempat, aku mendengar setidaknya satu orang membicarakannya. Dan nama Pandawa akan kembali muncul di benak.
Aku telah menyimpan sketsa wajahnya di laci paling dasar, di bawah tumpukan buku-buku yang jarang kusentuh. Seperti aku mencoba untuk melupakannya.
Pintuku diketuk pelan, lalu sosok yang tidak ingin kulihat itu muncul di pintu.
"Kak Isa! Makaaan!"
Aku sedang tidak berselera, jadi kugelengkan kepala. "Nanti."
Alih-alih pergi, dia justru masuk dan menarik tanganku. "Ayooo~ Bia nggak suka makan sendirian," rengeknya.
Malam ini, aku sedang lelah berdebat, jadi aku menurut saja. Di meja makan, Mama sudah mulai menyantap makan malam sembari menonton sesuatu di ponsel keluaran terbarunya. Sesekali ia cekikikan pelan, tetapi tidak mengangkat muka apalagi menyapa saat kami tiba. Tidak bahkan ketika Bia menarik kursi di dekatnya untuk mulai bermanja-manja.
"Mama nonton apa?"
Tidak ada jawaban.
"Ma?" Bia mencoba sekali lagi.
"Webseries," jawab Mama singkat. Tidak seperti biasanya. Tidak ada nada keibuan itu. Tidak ada senyum. Tidak ada Papa di sekitar.
"Seru?" Dan Bia, pastilah sangat bodoh. Dia bahkan tidak mengerti nada dingin itu dan terus menempel. "Bia mau liat, dong? Tentang apa?!"
Kali ini, Mama menjatuhkan sendok dan garpunya hingga berdenting pada piring. Terdengar ia mengembuskan napas kasar sebelum mendelik pada Bia.
"Mama mau nonton. Jangan diganggu!"
Aku melanjutkan makan sambil berusaha menahan senyum. Lucu saja. Mama akhirnya menunjukkan belangnya yang sebenarnya. Membuat Bia yang polos tampak kaget di kursinya. Bodoh sekali jika dia berpikir wanita di depanku ini adalah malaikat. Sebentar lagi, dia akan tahu kenyataannya.
Lucu saja, melihat wajahnya yang tertekuk sepanjang acara makan.
Namun kelucuan itu tidak bertahan lama. Bia permisi ke kamar mandi, dengan suara kecil seolah dia benar-benar takut untuk mengganggu acara Mama. Ponselnya tergeletak di atas meja makan, tepat di hadapanku.
Layar yang tadinya gelap, mendadak menyala seiring dengan bunyi pop yang menandakan ada pesan masuk. Aku tidak bermaksud mengintip. Itu terjadi begitu saja. Gelembung pemberitahuan pesan baru muncul di atas wallpaper bergambar ilustrasi serba pink miliknya, menampilkan isinya.
Pengirim: Panda <3
Hmm. Makan yang banyak. Tapi jangan sampai sakit perut lagi, Bee. Jangan bikin khawatir.
Genggamanku pada sendok mengerat. Seketika, aku merasa mual. Aku bangkit berdiri tanpa menghabiskan makanku, mengabaikan Mama yang mendadak mengomel karena keberisikanku, lalu membanting pintu kamar cukup keras.
Tanganku gemetar, yang kemudian kugenggam erat demi meredakannya.
Tidak berhasil, aku menarik kursi meja belajar dan mengeluarkan sketsa itu dari laci. Kali ini, aku menatapnya lamat-lamat.
Kenapa harus Bia yang memilikinya? Kenapa bukan aku? Anak itu terlalu manja, terlalu bodoh, Pandawa harus punya banyak kesabaran menghadapinya. Aku ... aku bisa melakukannya lebih baik.
Satu jam puas menatap sketsa itu, aku merobek kertas kosong dan mulai menulis sebuah surat. Sudah kuputuskan. Aku akan mencurahkan semua perasaanku. Mundur hanya karena Bia memilikinya bukan sebuah pilihan. Aku berhak, menyukai siapapun yang kusukai.
***
"Ehm ... ini ada kue, buat kamu. Aku bikin sendiri."
Kuhentikan langkahku menuruni tangga. Dua buah kepala muncul di balik tangga tersebut. Seorang anak perempuan yang seperti pernah kulihat satu dua kali, dari kelas sebelah, populer di kalangan anak laki-laki (aku pernah menyaksikan dia yang dikerubungi setidaknya sepuluh siswa yang begitu memuji sosoknya), dan bahkan jika aku tidak melihat semua itu, semua orang dapat menilai dari penampilannya. Cantik dengan rambut sebahu, tubuh jenjang dengan lekukan yang tidak terlalu disembunyikan oleh seragamnya, tatapan mata sendu yang membuat semua pria akan berlarian untuk melindunginya. Sosok yang sempurna.
Sosok itu tengah memegangi sekotak kue brownies dengan tampilan menarik. Di hadapannya, adalah seorang anak laki-laki. Aku tidak dapat melihat wajahnya, hanya bagian belakang kepalanya. Rambut hitam yang rapi.
"Buat aku?" Suaranya terdengar tidak begitu asing. Nadanya ramah, aku bahkan dapat membayangkan bibir yang tersenyum ketika mengucapkannya. "Dalam rangka apa, ya?"
"Oh itu ... hm, nggak pa-pa. Pengen aja." Dia meremas jemarinya di depan tubuh, gugup.
Laki-laki itu mengangguk. "Kalau gitu makasih, ya. Pasti aku bagi juga sama teman-teman yang lain."
"Kok dibagi? Itu tuh aku bikin buat kamu doang!"
Ada keheningan sejenak. Lalu, gadis itu kembali bicara. "Kamu beneran nggak peka atau cuma pura-pura, sih? Aku tuh, suka sama kamu, Aksal!"
Ah, dia.
"Denger, Rin," Aksal akhirnya buka suara. Lamat-lamat, seolah ia sedang bersiap-siap menjelaskan rumus matematika yang pelik atau sejenisnya. "Aku sangat menghargai perasaan kamu. Sejujurnya, aku merasa nggak pantas disukai orang sebaik kamu─"
"Gue ditolak?!" Gadis itu memotong cepat.
Ada anggukan pelan. "Maaf, aku belum ada niat buat pacaran─"
"BASI! Lo tuh hobi banget ya, bikin baper anak orang?! Nganterin gue pulang, lah! Nawarin makan, lah!"
"Rin, aku peduli sama kamu. Kita udah susah senang bareng di OSIS, dan kerjaan sebagai bendahara juga tanggung jawabnya besar. You've been a great friend to me, too..."
"Friend...," nada suaranya mulai bergetar. Tatapannya meliar kesegala arah. Dia sedang menahan tangis.
"I'm sorry...," Aksal berbisik lagi. "I care for you, tapi untuk soal perasaan, aku nggak bisa."
Sekarang, tangisnya pecah. Airmata yang sudah sekuat tenaga di tahan, akhirnya mengalir begitu saja di pipi. Aku tidak dapat melihat, tapi dapat merasakan kepanikan laki-laki itu. Dari cara tangannya terulur untuk mengusap airmata itu, hingga ketika dia menarik gadis itu ke dalam pelukan. Membiarkan dia menumpahkan tangisnya di sana.
"Brengsek lo ya, Sal!" tangisnya di sela sedan. "Bahkan saat berhasil bikin gue patah hati pun, lo masih bikin baper gini. Udah berapa banyak anak orang yang lo bikin gini?!"
Aku tidak mendengarkan lagi sisanya. Karena detik itu, aku berbalik. Dalam langkah amat pelan kembali ke atas. Aku tidak punya urusan di sana, menyaksikan mereka berpelukan dan mendengarkan tangis. Sebenarnya, aku tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022