Kemarin, dia menyebutku gadis yang ada di seberang jalan.
Dia mengingatku. Entah bagaimana, dia mengingatku. Aku ingin bertanya lebih jauh, menggali ingatannya. Tetapi otakku mendadak tidak dapat memikirkan satu kata pun untuk merespons. Dan bel yang berbunyi juga tidak membantu. Hanya menjauhkan Pandawa lebih cepat. Meninggalkanku dengan beribu pertanyaan di kepala.
Yang tidak hilang, meski kucoba.
Lalu hari ini, aku melihatnya. Dia tersenyum. Kepadaku. Ya, kepadaku.
Kurasa ... aku masih baik-baik saja, kan? Apakah aku mulai berhalusinasi?
Karenanya, alih-alih membalas senyumnya, respons pertamaku adalah kabur. Bagaimana mungkin, dalam semalam semuanya berubah? Pertama, dia putus dengan Bia, gadis yang paling kubenci itu. Kedua, dia masih mengingatku, bahkan, tersenyum padaku.
Seharusnya aku senang. Tapi aku justru tidak tahu apa yang sedang kurasakan. Ketika menyaksikan Bia menangis semalaman di kamarnya, rasanya rasa benciku berkurang untuknya. Paling tidak setengahnya. Ketika Pandawa menyapa, aku ...
"Kamu ngelamun?"
Ya, ternyata aku melamun. Oleh karena itu aku sempat gelagapan dan dengan panik menoleh ke sisi. Lalu, diam-diam mengembuskan napas lega. Di sana ada Aksal. Dengannya, aku tidak perlu merasa takut. Dia seperti atap sekolah yang menawarkan ketenangan. Namun kemudian yang menjadi pertanyaanku, sejak kapan dia ada di sana?
"Kamu di sini sudah lama?"
Ia mengulum senyum. "Cukup lama untuk liatin kamu cemberut kayak gitu."
Segera, aku memalingkan wajah. Memangku aku tadi cemberut? Dan seperti membaca isi pikiranku, dia memiringkan kepala dengan senyum bermain-main di wajah.
"Yuk, saya antar pulang," katanya.
Aku nyaris mengiyakan, sebelum mengingat pesannya tadi pagi. Dia sedang sibuk. Kenapa tiba-tiba menawarkan tumpangan?
"Bukannya kamu mau latihan?"
"Iya. Tapi masih ada waktu."
"Nggak sibuk?" Aku masih tidak begitu yakin.
Dia menggeleng.
Dan ya, setelah tiga jawaban pasti itu, aku tidak lagi punya alasan untuk menghindar. Usai nyaris seisi sekolah telah pulang (karena aku bersumpah aku sudah cukup menjadi musuh masyarakat tanpa dipergoki diantar pulang olehnya), Aksal memboncengku.
Dia tidak membawa motor yang jok penumpangnya menukik itu. Dia juga tidak mengebut di jalan. Berhenti dengan sempurna di belakang garis saat lampu merah dan baru jalan Ketika lampu telah benar-benar berubah hijau. Dia bahkan dengan sengaja meminjam helm temannya untukku. Tipe ketua OSIS. Dia benar-benar cukup ketat dengan peraturan. Aku menemukan sisi ini pada dirinya.
"Kalau kamu sibuk, seharusnya kamu nggak perlu repot-repot." Di tengah perjalanan, aku kembali mengungkitnya. Aku hanya tidak suka menjadi beban orang lain. Tidak suka menjadi manja. Seperti Bia. "Saya bisa sendiri naik gojek, atau apapun."
Melalui deru angin dan deru suara berbagai kendaraan, aku mendengar jawabannya. "Kamu kayaknya nggak mau banget diantar. Takut diculik?" Yang diiringi tawa pelan di ujung suaranya.
"Saya nggak mau merepotkan."
"Saya ingin direpotkan."
Lalu, percakapan kami terjeda karena aku mulai perasan rintik-rintik kecil jatuh di lenganku. Gerimis. Aksal pasti merasakannya juga karena ia dengan cepat menepi.
"Kita mau berteduh?" Aku turun dari motor, sedikit keheranan. Kupikir, dia hanya perlu menambah laju kendaraan. "Sekarang belum hujan, dan rumah saya nggak jauh lagi. Sepertinya keburu kok─"
Ucapanku terhenti tatkala aku merasakan beban yang ringan di pundak. Aku menoleh, mendapati Aksal tengah dengan hati-hati menyampirkan jaketnya padaku. Jaketnya memiliki wangi samar. Wangi Aksal.
"Kamu nggak perlu─"
"Saya perlu," potongnya, menegaskan letak jaket itu di badanku Ketika aku mencoba melepasnya.
Lalu, aku merasakan tatapannya yang intens. "Saya perlu," ulangnya lagi.
"Saya tahu kamu bisa melakukan semua sendiri. Hal-hal kecil seperti jaket saat hujan ini, kamu bisa mengatasinya. Tapi saya mohon ... biarkan saya melakukan sesuatu untuk kamu."
Aku balas menatapnya. "Kenapa? Kenapa kamu mau melakukan itu untuk saya?"
Giliran dia, yang terdiam. Perlahan, aku memasukkan lengan jaket ke lenganku, satu demi satu sehingga menjadi sepasang.
Perkataannya memang membuatku terhenyak. Coba menerka-nerka maksudnya. Tetapi dia tidak tampak ingin menjawab pertanyaanku, dan gerimis yang turun perlahan menderas. Aku tidak punya waktu untuk mendebat.
Selang tidak berapa lama, kami tiba di depan rumah. Tidak ada percakapan di antara jarak itu, hanya ada rintik hujan di antara kami. Sepertinya, kami sama-sama punya pikiran masing-masing.
Untuk Aksal ... mungkin, itu bukan pikiran yang terlalu menyenangkan. Terlihat, dari raut wajahnya ketika aku mengembalikan helm.
"Cepat masuk, nanti sakit.' Hany aitu, yang dia katakan.
"Hujan. Mampir dulu."
Dia menggeleng. "Ada latihan."
Ah, ya. Aku nyaris melupakannya. Karenanya, aku hanya mengangguk dan berbalik setelah berpesan padanya untuk berhati-hati di jalan.
Pagar berkeriut Ketika aku mendorongnya terbuka. Aku berjalan masuk, tetapi, Aksal menahanku dengan ucapannya.
"Isa?"
Aku berbalik. "Ya?"
"Mulai sekarang ... boleh kamu senyum ke saya aja?"
***
Tadinya mau lebih panjang, tapi ngantuk sekali. Jadi segini aja dulu, ya~
See you again!
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022