Aku nulis ini sampai 3 kali gara-gara laptop eror. Pengen nangis banget T.T
Enjoy reading, ya. And please give me some appreciation too <3 nulisnya udah butuh effort banget.
***
Aksal menatapku. Dan aku, untuk pertama kalinya, tidak berani menatap ke dalam matanya.
Karena Isa yang terduduk di depannya sekarang bukanlah Isa yang kemarin dia temui. Bukan Isa yang berani menyatakan cinta di depan semua orang, bukan Isa yang kuat, bukan Isa yang tidak kenal cara menangis.
Ini Isa yang baru saja tersandung di atas kakinya sendiri. Isa yang berusaha lari. Isa yang ingin bersembunyi. Ini Isa yang ... rapuh. Bagian dari diriku yang tidak ingin kuperlihatkan pada orang lain.
Sekarang, dia telah melihatnya. Mungkin ..., setelah ini dia akan berubah pikirann. Mungkin, dia tidak akan mengirimkan ucapan selamat pagi dan bertemu denganku lagi. Hal itu seharusnya melegakan.
"Kamu terluka."
Itu adalah kalimat pertamanya setelah hening yang terasa panjang. Kuikuti arah pandangnya, di lututku, ada lecet kemerahan dan luka terbuka yang baru kusadari keberadaannya, hasil terjatuh tadi.
"Mari," katanya lagi. Satu tangannya terulur sementara tangan lainnya membayang di belakang pundakku, seolah berjaga-jaga jika aku bangkit dan kembali terjatuh.
Seolah-olah... aku adalah benda yang rapuh.
Jadi aku menepis tangannya dan bangkit berdiri dengan usahaku sendiri. Yang berhasil, awalnya. Sayangnya, mungkin aku terlalu percaya diri dan mulai melangkah. Di saat itulah, kakiku menyerah, oleng, dan aku kembali terjatuh. Begitu saja. Dalam hati aku mengutuk keseimbanganku yang mendadak payah.
"Hati-hati," ucapnya, kembali berada di sisiku. Dia tidak menyalahkan kekeraskepalaanku.
Dan, tanpa aba-aba, ia meletakkan satu lengan di bawah lututku dan lengan yang lain di punggungku. Ia membawaku di atas kedua lengannya.
Seketika, aku diserang rasa panik. "Kamu ngapain?" tanyaku gugup. "Turunin."
"Kamu nggak bisa jalan."
"Saya bisa! Tolong, turunin saya sekarang!"
Ia tetap melangkah sembari menggeleng. "Nggak mau."
"Kalau kamu enggak turunin saya sekarang, saya─"
"Saya apa?"
"Saya bakal pukul kamu!"
Tiba-tiba, dia terkekeh pelan. Bisa-bisanya! Di saat semua orang di sekitar menghujamkan tatapan setajam pedang padaku.
"Apa yang lucu?" tanyaku, sementara mataku menolak untuk menatapnya. Alih-alih, aku menyembunyikan wajah, seolah dengan cara itu aku berhasil tidak terlihat.
"Kamu jadi bicara lebih santai. Bisa teriak juga."
"Ini bukan saatnya becanda!" Rasanya, aku ingin membungkamnya, namun tidak sanggup memperlihatkan wajah pada semua orang.
"Sshh. Kita sudah sampai. Saya obati kamu dulu, baru kamu lanjut ngomel, oke?"
Ketika dia akhirnya menurunkanku, aku menyadari bahwa kami sekarang berada di ruang UKS, dengan aku menempati salah satu kasur paling ujung. Aksal sendiri menjauh dan memunggungiku, berdiri di depan lemari obat.
"Petugas UKSnya nggak masuk, kayaknya," ujarnya, lantas bergumam kepada diri sendiri. "Betadine... NaCl ... kasa, nah, ini dia."
Ketika dia kembali, dia membawa beberapa peralatan P3K itu sebelum berjongkok di depanku. Mula-mula, dia meneteskan cairan dari wadah putih transparan seperti infus ke atas kapas, lalu menekannya ke lukaku. Perih, hingga aku meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022