Chapter 19

5.3K 1.1K 133
                                    


Berhari-hari mikirin gimana nambahin chapter ini tapi nggak nnemu-nemu ide. Ada kesibukan lain juga RL. Jadi, seadanya dulu, ya.

***

Pacar?

Aku mengernyit, seketika duduk lebih tegap.

"Aksal?" Simpulku, sedikit ragu. Bagaimana jika aku salah orang dan orang itu mulai bertanya-tanya kenapa aku menyebutkan nama Aksal? Tetapi kemudian, kecuali telingaku bermasalah, untuk apa dia memanggilku pacar?

Kemudian, aku seperti dapat mendengar senyum dalam suaranya. "Saya senang saya satu-satunya pacar kamu."

Sekarang jelas, itu adalah suaranya. Terdengar cukup familiar sekarang, di telinga. Tidak cempreng, tidak terlalu berat, terdengar cukup halus. Jenis suara yang jika didengarkan sebelum tidur, akan dapat membuat terlelap.

Tetapi sedetik kemudian, keningku kembali menyatu menyadari maksud ucapannya barusan. Apa dia sedang bercanda? Aku tidak bisa memutuskan sehingga terlambat untuk bereaksi. Alih-alih, aku mengutarakan pertanyaan paling mendasar yang dapat kupikirkan.

"Kamu tahu nomor saya dari mana?"

"Itu...," dia tersendat. Rasanya, ini pertama kalinya aku mendengar dia tersendat ketika bicara. "Um... rahasia."

Aku terdiam untuk dua alasan. Pertama, aku mencoba menebak-nebak maksud dan tujuannya meneleponku. Dan kedua, hanya karena aku tidak tahu harus mengatakan apa. Untungnya, dia kembali bicara.

"Kenapa kemaren kamu enggak nge-chat saya?"

Alisku terangkat setengah. "Memangnya kenapa?"

"Saya sudah nanya di grup, tapi kamu enggak nge-chat saya juga."

Sesaat, aku dapat mengingatnya. Pesan-pesan aneh di grup yang dikirim Aksal.

Aksal Adiwilaga: Ada anak kelas sepuluh yang tadi siang ada urusan sama saya. Tapi belum selesai. Tolong japri, ya.

Aksal Adiwilaga: Kalau nggak salah, inisialnya I.

Aksal Adiwilaga: Chat saya, ya. Ditunggu.

Jadi... itu maksudnya aku?

"Kenapa ... kamu ingin saya chat kamu?"

Samar, terdengar deru napas. "Karena saya nggak bisa menemukan nomor kamu."

"Huh?"

Jeda sejenak. Seolah, di ujung sana dia sedang berpikir harus menjawab apa, atau menjelaskan bagaimana.

"Saya sudah berusaha," katanya. "Saya ... scroll nama kamu di antara 347 orang yang ada di grup. Tiga kali. Dan tetap nggak ketemu."

Ah...

"Saya nggak pasang nama asli. Dan nggak pasang PP."

"Oh... pantes."

"Kenapa enggak nanya ketua kelas aja?"

"Itu ...," jeda lagi. Aku dapat membayangkannya berdiri di hadapanku, sedang menelengkan kepala.

"Saya malu," katanya akhirnya. Jawaban itu di luar dugaanku.

"Malu?"

"Hm. Kamu pacar saya, tapi saya nggak tahu nomor kamu."

Aku memungut pulpen di atas meja tanpa sadar, mengetuk-ngetukkannya sementara mataku menatap langit-langit tanpa tujuan. Semuanya kulakukan tanpa sadar. Meski tak berguna. Tetap saja, fokusku menjadi buyar.

"Hm. Tapi... kita bisa mengakhiri ini. Kamu nggak perlu jadi pa─"

"Oh, udah malem. Saya belum mandi."

"Jam segini?"

"Hm. Baru pulang nge-gig."

"Oh... Oke."

"Minggu depan kami tampil lagi. Di York."

Aku tidak tahu mengapa dia memberitahuku ini. Dan mungkin dia dapat membaca kebingungannya melalui sambungan telepon sehingga kemudian, dia berujar.

"Kamu tahu tempatnya?"

"Enggak." Aku tidak tahu tempat manapun.

Namun, aku masih tidak mengerti.

"Mau saya jemput?"

Huh... apa?

"Saya mau kamu datang," katanya lagi. "Kalau kamu nggak keberatan."

Untuk pertanyaan itu, aku tidak tahu aku harus menjawab bagaimana. Pada pikiran pertama, aku ingin menolaknya. Namun membayangkan sosoknya yang berdiri di depanku, rasa tidak nyaman menghampiri.

Akhirnya, aku hanya mengatakan. "Lihat nanti."

Ia bergumam. "Kamu sudah mau tidur?"

"Ya?"

"Kalau begitu, selamat tidur."

Aku tidak membalas. Tidak bahkan setelah bunyi tut tut yang menandakan panggilan telah berakhir bergema di telingaku. Lalu, ponsel kuletakkan perlahan di atas meja dan badanku sendiri di atas kasur.

Sambil menatap langit-langit, pikiranku mengilas balik seluruh percakapan yang barusaja kami tukar.

Selamat tidur, katanya.

Selamat tidur...

Ingatan tentang ranjang sempit yang dingin dan sepi memenuhi kepalaku. Lalu berisik ketika aku mulai lelap. Entah itu almarhum ayahku yang datang dalam keadaan mabuk. Entah itu ibuku yang membawa lelaki berbeda lagi ke rumah. Entah itu suami kedua ibuku dan selingkuhannya. Mereka semua bersenang-senang, tetapi tidak ada yang memedulikanku.

Lalu, sembari aku memejamkan mata, ucapan itu kembali berputar di kepalaku. Berulang-ulang. Dengan lembut.

Selamat tidur.

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang