chapter 8

6.4K 1.2K 156
                                    


"Bi Nuuuurrr! Biiii~"

Pagi-pagi, aku sudah menyumpal telinga dengan earphone agar tidak harus mendengar rengekannya, meski cara itu tidak cukup berhasil. Bia terus merengek di kursinya sementara semua orang sibuk mencoba makan, aku sibuk mencoba makan.

"Iya, Non?" Asisten Rumah Tangga kami, wanita setengah baya yang kerap disapa Bi Nur, tergopoh-gopoh kembali dari dapur sembari menenteng centong nasi di tangan.

Kepadanya, Bia mencebik. "Biii~ Kok gini, sih? Ini telurnya Bia belum matang," rengeknya. "Bibi kan tahu Bia nggak suka telur setengah matang!"

"Oh... Bibi panasin ya."

"Nggak mau!" ia menggeleng. Nadanya seperti anak kecil yang merajuk. "Bia mau yang baru!"

"Makan aja apa yang ada," Papa menegurnya. "Kamu itu manja banget!"

Lagi, Bia bersungut-sungut. "Tapi Bia nggak sukaaaa. Mau muntah, ih!"

Aku menggenggam sendokku erat, berusaha keras untuk tidak meraih telur di atas piring itu dan menyumpalkannya ke mulut Bia. Telur setengah matang bukan apa-apa. Aku pernah memakan yang lebih buruk. Makanan basi? Nasi sisa? Hanya nasi dan garam? Mereka bukan apa-apa. Aku pernah tidak makan.

"Sudah Pa, sudah." Mama, berinisiatif menengahi. Jemarinya yang sekarang terawat dengan cat kuku dan cincin melingkar di tiga ruas jarinya. "Biar mama yang bikinin telur mata sapi untuk Bia, ya?" ujarnya lembut. Terdengar begitu asing.

Bia mengangguk bersemangat. "Yang matang tapi jangan terlalu matang ya, Ma! Nanti gosong."

Dan sementara Mama tersenyum keibuan sembari mengusap rambut anak itu yang berhias jepit rambut merah muda, aku berusaha keras menelan nasi ke tenggorokanku.

"Oh, iya, Papa lupa bilang." Papa berhenti sejenak. Ia telah menghabiskan seluruh makanannya dan meraih serbet untuk mengelap mulut. Lalu, ia menyesap air di gelas hingga tersisa separo sebelum melanjutkan bicara.

"Apaan, Pa? Lama, deh!"

"Itu, minggu depan Papa berangkat buat mantau proyek di Singapur. Kira-kira seminggu. Bia baik-baik ya, sama Mama sama Isa. Jangan keseringan cengeng."

Yang menjadi objek pembicaraan bersungut-sungut. "Ih, siapa yang cengeng! Tapi Papa janji ya, pulang harus bawain Bia oleh-oleh yang banyak!"

Papa terkekeh. "Kamu mau dibawain apa, emang?"

"Boneka!" Bia berseru, tetapi segera menggelengkan kepala atas ucapannya sendiri. "Eh enggak, deh! Selera Papa kan jadul, nanti jelek, enggak ah! Beliin Bia tas baru, sepatu, terus ... hmm... baju juga, deh. Semuanya harus warna pink ya, Pa!"

"Iya~ Kayak Papa enggak ngerti aja kalau beliin warna lain Papa bakal diamuk."

Mereka tertawa bersama. Selayaknya potret keluarga bahagia yang terpajang di sepanjang tangga. Aku hanya perlu menjauh dari bingkai. Karena sedari awal, ini memang bukan tempatku.

Hingga, pertanyaan Papa membuatku terkejut.

"Kalau Isa mau dibawain apa?"

Aku menatap Papa seolah pertanyaan barusan adalah pertanyaan paling tidak masuk akal yang pernah ditanyakan padaku. Dan memang begitu, kenyataannya. Aku tidak terbiasa dilibatkan, ditanyai apa yang aku inginkan.

Hingga jawabanku atas pertanyaan itu menjadi sedikit terbata. "E-enggak... enggak ada."

"Jangan gitu. Sebutin aja. Tas? Sepatu? Baju? HP baru?"

"Bia mau jugaaa hape baruuuu!"

"Kamu kan bulan kemaren baru ganti, Bia."

"Tapi minggu kemaren baru rilis yang baru, Pa!"

Mereka berdebat seperti kebiasaan. Lalu Papa bangkit dari kursinya dan meraih tas kerja. Dia bilang, dia harus berangkat lebih pagi karena ada meeting penting, yang tidak kuketahui apa. Aku bahkan tidak tahu bisnis seperti apa yang Papa jalankan. Yang aku tahu, dia sangat sibuk, teleponnya selalu berbunyi dan kadang dia harus pergi bahkan meski itu hari libur.

Ia menghampiri Mama yang membawa telur dari dapur untuk mengecupnya di pipi sebelum pergi.

Dan sebelum Papa bahkan melangkah begitu jauh, Bia menarik Bi Nur mendekat dan berbisik padanya.

"Bi, bekalnya udah siap? Telurnya sama sosisnya bentuk hati, kan, Bi? Telur yang ini masukin situ aja, ya, Bi. Cowok Bia paling suka telur setengah mateng."

Bi Nur mengacungkan jempol penuh konspirasi. "Beres, Non!"

***

Mungkin ada yang salah dengan makanan yang dia konsumsi tadi pagi, sehingga Bia menjadi terlalu tenang pagi ini. Yang dia lakukan hanyalah grasak-grusuk memegangi perut dari separuh perjalanan hingga kami tiba di sekolah.

Aku turun dari mobil begitu Pak Darto, supir yang selalu mengantar kami ke sekolah memarkirkan di depan gerbang.

Lima langkah, sepuluh, lima belas, dan Bia tidak mengejarku.

Dia menarikku begitu kami melewati gerbang, menyeretku untuk sedikit menyisi dari koridor, menuju taman sekolah.

"Kak! Kak! Bia minta tolong bentar!" ujarnya dengan penuh urgensi dalam suaranya.

Aku menatapnya penasaran.

Bia membuka tasnya, mengeluarkan kotak bekal yang tadi telah dibungkuskan Bi Nur untuknya, lalu mendorongnya ke kedua tanganku. Aku tidak mengerti, jadi aku menatapnya, meminta penjelasan.

"Bantuin Bia, please!" ia melompat-lompat kecil, masih sambil memegangi perut. "Dia katanya bakal nunggu di sini. Ngambil bekal! Bia nitip, ya! Perut Bia sakit banget!"

"Dia? T-tapi─"

"Tolong ya, Kak!"

Selanjutnya, dia tidak mendengarkanku lagi karena sibuk berlari. Ke toilet, kurasa.

Aku menatap kotak bekal berwarna─bisa ditebak─merah muda di depanku dan membiarkan berbagai pertanyaan bergelayut.

Pertama, untuk apa kotak bekal ini? Lalu kenapa dia harus menitipkannya padaku? Mereka bisa mengatur janji temu nanti. Tanpa melibatkanku. Karena aku benar-benar tidak suka harus berada di tengah-tengah hubungan dua orang yang tidak ingin kupedulikan seperti ini.

Lalu pertanyaan terakhir, dan yang seharusnya tidak ada di sana ... siapa, pria itu?

Pria yang dipuja-puja Bia setengah mati.

Bahkan meskipun aku berusaha tidak peduli, aku dapat dengan mudah menangkap binar di matanya setiap berbicara dengan laki-laki ini. Aku penasaran sehebat apa di─

"Permisi."

Satu suara memotong deret pertanyaan di benakku. Sebuah suara yang dalam dan entah bagaimana, terdengar sendu.

Aku berbalik, nyaris secara refleks. Hanya untuk menyesalinya di detik berikutnya.

Karena laki-laki yang berdiri di depanku ini ... adalah seseorang yang kukenal.

Ia memiringkan kepalanya sedikit, seakan menelitiku. Lantas, sepasang mata itu berkeliaran ke sekitar, mencari sesuatu sebelum menatap kotak di tanganku. Terakhir, ia menatapku kembali.

"Bia ... kemana?"

Dia adalah pemilik kotak makan ini.

Dan dia ... adalah Pandawa.

***

200 votes dan 100 komen yuk biar next update.

Bisa???

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang