Aku menyerahkan kotak makan itu ke pangkuannya begitu masuk ke dalam mobil. Bia menatap kotak itu, lalu kepadaku secara bergantian. Kerut di keningnya seolah memiliki pertanyaan sehingga, tanpa ingin berada di situasi ini lebih lama, aku pun menjelaskan.
"Dari Bi Nur. Ketinggalan, katanya."
"Oh," katanya, mengangguk sekali, lantas menggumamkan terima kasih pelan. Itu adalah kata pertama yang dia ucapkan padaku setelah tiga hari ini.
Ya, aksi diam yang dia lakukan sejak insiden tas itu. Entah apa alasannya. Akupun tidak ingin peduli. Kami saling duduk di masing-masing ujung sisi yang berbeda di dalam mobil, saling menatap ke luar jendela.
Hingga ponselku berdenting. Hal yang tidak biasa sehingga aku perlu memeriksanya.
[Kacang Polong]: Siang ini kamu sibuk, nggak?
Aku sedikit terkejut. Tidak biasanya orang itu mengirimi pesan pada jam seperti sekarang. Biasanya, dia saat ini telah sampai di sekolah dan menyibukkan diri dengan tanggung jawab. Karena penasaran dengan pesan yang tiba-tiba itu, juga pertanyaan tiba-tiba itu, akupun membalas dengan cepat.
Kenapa? Ketikku.
[Kacang Polong]: Saya kayaknya bisa curi-curi waktu.
[Kacang Polong]: Mau ... makan siang bareng?
Jemariku terhenti di papan ketik sementara aku berpikir harus menjawab apa. Dia mengajakku ... makan siang? Lagi? Aku tidak punya rencana apa-apa sehingga banyak memiliki waktu luang, itu jelas. Tetapi makan siang bersama ... aku tidak tahu apakah aku menginginkannya.
Otakku memerintahkan untuk menolak. Makan siang bersamanya seperti waktu itu membuatku tidak nyaman, aku tidak ingin melakukannya lagi. Tetapi ucapannya tempo hari kembali mengisi benakku dan tahu-tahu, aku sudah mengetik balasan.
Boleh, balasku.
Aku membuang pandang ke jendela segera setelahnya. Kurasa ... aku sudah gila. Tapi anehnya, aku merasa ... cukup senang.
Oke, aku pasti benar-benar gila!
***
Perasaan tidak nyaman yang aneh menyerangku momen ketika aku menginjakkan kaki di koridor sekolah. Rasanya ada yang salah, meski aku tidak tahu apa. Anak-anak seperti biasa berkumpul di beberapa titik di sepanjang koridor; di dekat mading, di sekitar bangku panjang yang menghadap taman, di dekat gerbang, ramai mengobrol dengan ponsel di tangan mereka.
Namun secara aneh, obrolan itu mendadak senyap begitu aku mendekat.
Di depanku berjalan Candy, anak yang sekelas denganku, rambut pendek sebahu. Aku tidak menyapanya, hanya berjalan di belakang ketika bisikan-bisikan aneh itu mulai terdengar. Candy juga menghentikan langkah.
"Urat malunya udah putus apa, ya?" seru seorang anak perempua, cukup kencang untuk bisa terdengar dari tempatku berdiri.
"Bukan lagi," sahut yang lain. "Kalau gue jadi dia, gue nggak bakal lagi punya muka buat dateng ke sekolah."
"Gue bakal pindah sekolah, kayaknya!"
"Gue bakal langsung terbang ke Korea buat operasi plastik! Ganti muka!" Suara mereka bersahut-sahutan. Kembali menjadi ramai, dengan nada-nada sarkastis yang serasa sedang dihujamkan semuanya kepadaku.
"Lagian dia pikir dia siapa sih? Berani-beraninya nulis surat super duper norak kayak gitu buat pangeran kita?!" seru seorang yang lain, sembari menatap layar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022