chapter 4. his name

9.3K 1.3K 159
                                    

Boleh minta komen yang banyak?

Kemaren sepi bangeeeet. But ok, di chapter ini, kisah Isa baru dimulai.

Happy reading~

***

Menu sarapan pagi ini adalah dua iris roti panggang dengan telur mata sapi, keju dan irisan ham serta dua potong sosis gemuk panggang, ditemani secangkir jus jeruk. Ada terlalu banyak lauk di piringku sampai rasa-rasanya aku merasa bersalah memakan semuanya tanpa nasi. Awalnya, aku tidak mengerti kenapa orang-orang bisa merasa kenyang tanpa makan nasi, namun sepertinya, sekarang aku mulai memahaminya.

"Jadi hari ini resmi di sekolah baru, ya?" Papa─dia berkeras agar aku memanggilnya demikian─mencoba mengajakku bicara di sela kunyahan rotinya serta sesapan kopi.

"Hm." Aku mengangguk. Tidak ada yang ingin kukatakan.

Hanya saja, Papa belum menyerah. "Gimana persiapannya? Aman? Nanti, kalau ada apa-apa, tanya Bia aja. Atau kalau kamu merasa canggung, main aja sama Bia. Anak itu temennya banyak."

Aku kembali mengangguk.

"Nanti kalau pelajarannya terlalu tinggi buat kamu, bilang aja, kita cari tempat les yang bagus. Bia itu juga Papa suruh ikut les, biar nilai-nilainya bagus."

Lagi, aku hanya mengangguk dan meneruskan makan. Dan untuk kali ini, Papa tidak lagi bertanya macam-macam karena Mama yang sibuk merengek meminta mobil dan supir pribadi untuknya.

"Maa... Paa... Bia berangkat!"

Suaranya menggema nyaring bersama derap langkahnya menuruni tangga bahkan sebelum sosoknya muncul. Rambut panjang, tas unicorn dengan aksesoris serba pink yang memuakkan.

"Sarapan dulu! Duduk yang benar!" Papa menegur ketika anak itu mencomot selembar roti dan menggenggam gelas susu sambil berdiri.

Bia menggeleng. "Enggak sempet. Nanti telat! Pak Amitab Bachchan itu galak banget loh, Pap!"

"Amitab Bachchan?" Papa mengernyitkan alis sementara Bia tertawa.

"Nggak tahu. Anak-anak manggilnya gitu."

Tepat setelah kunyahan terakhir kutelan, aku meraih tasku dan beranjak dari meja makan.

"Saya berangkat."

"Eh, ga sopan kamu nggak salim dulu!" Mama menegur. Aku nyaris memutar bolamata. Namun memilih tidak mendebat dan mencium tangannya, juga ayah baruku.

Aku benci harus semobil dengan Bia. Selain aroma parfumnya yang menyengat, ia juga sangat berisik. Jadi begitu mendudukkan diri di kursi penumpang, aku memasang earphone di telinga dan memejamkan mata. Sebuah upaya agar dia tidak menggangguku.

Tetapi rupanya, hal itu kurang berhasil. Dia menggoyang lenganku pelan.

"Kak Icha!"

Masih kuabaikan, berharap ia akan menyerah.

"Kak Ichaaa!" Tetapi tidak. Dia justru menggoyangku lebih keras.

"Isa," tegurku. Aku tidak suka setiap dia mulai memanggilku dengan nama lain yang hanya terlihat lucu baginya.

"Oh, kirain tidur!" Dia terkikik. "Kita udah mau nyampe, nih!"

Aku membuang pandang ke jendela dan kembali memejamkan mata dengan lengan bersedekap di depan dada.

Dan dia menggangguku lagi.

"Kak Isaaa~"

Membuatku seketika melotot. Apa?!

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang