.
.
.Rasanya, aku tidak ingin pernah bertemu dengannya lagi.
Aku tidak ingin melihatnya lagi dan teringat kebodohanku sendiri. Rasa malu merambatiku dengan cepat sebelum aku cepat-cepat melepas helm dan mengembalikan padanya. Lalu menutup pagar di belakangku tanpa pernah melihat lagi ke belakang. Uh, bisa-bisanya aku kehilangan fokus dan jadi bodoh?
"Non udah pulang? Nggak sama Non Bia?" Bi Nur yang melihatku menegur, tetapi tidak kuhiraukan.
Aku mengunci pintu kamar, lalu tidak keluar hingga menjelang magrib, ketika mobil Pak Darto terdengar di halaman diikuti ribut-ribut Bia ketika dia memasuki rumah.
"Bibiiii mau juuuusss," rengeknya seketika.
Tanpa melepas sepatu, dia berjalan di karpet lalu melemparkan diri di sofa ruang tamu, tasnya di taruh di lantai sembarangan dan sepatunya di atas sofa. Pemandangan yang agak mengganggu bagiku. Bi Nur-lah yang kemudian harus melepas sepatu Bia untuknya.
"Jus apa, Non?"
"Jeruk."
Bi Nur baru berjalan beberapa langkah ke dapur ketika dia memanggilnya lagi. "Eh nggak jadi! Nggak jadi! Jus apel aja."
Lalu, dia mengulanginya lagi untuk kembali ke jus jeruk. Jika aku adalah Bi Nur, aku pasti sudah menjejalkan blender ke mulutnya.
Anak itu bahkan merengek-rengek dalam kebohongan.
"Duh, kaki Bia sakit banget, nih. Capek banget latihan terus," keluhnya seraya memijit-mijit kaki. "Biiiii nanti pijitin kaki Bia sekalian, yah!"
Yang aku tahu, kakinya pasti lelah untuk alasan berbeda. Hanya ketika Mama keluar dari kamar dan berjalan ke arahnya, gadis itu diam. Kejadian kemarin, tamparan itu sepertinya membuatnya lebih berhati-hati di dekat Mama. Sekarang dia tahu, dirinya telah masuk perangkap dan menjadi seorang Cinderella.
"Bia baru pulang?" Mama menegur dan secara mengejutkan, terdengar begitu lembut.
Wanita itu mengambil posisi duduk di sisi Bia. Lalu, dengan perhatian meletakkan kaki Bia di atas pahanya sebelum mulai memijit pelan. Bia dibuat terkejut oleh perbuatannya itu.
"Soal kemarin ....," ucapnya, "maafin Mama, ya. Mama lagi stress aja dan refleks... menampar Bia. Mama nggak sengaja, sungguh. Mama bener-bener nyesel sampai-sampai Mama nggak bisa bicara sama kamu langsung." Ia lalu menatap Bia lekat-lekat dengan tatap teduh. Tangannya naik, mengelus pelan pipi anak malang itu. "Pasti sakit, ya? Kamu pasti kaget."
Bia menunduk, seolah tidak tahu harus menjawab apa. Ketika dia mendongak lagi, dia tersenyum dan menggeleng. "Enggak apa-apa kok, Ma. Bia enggak apa-apa."
"Mama minta maaf. Mama nyeseeeelll banget." Ia meraih tangan Bia, lalu menempatkannya di pipinya sendiri. "Tolong kamu tampar Mama, ya. Biar impas. Tolong kamu tampar Mama juga."
Tetapi Bia menarik tangannya cepat dan menggeleng keras-keras. "Enggak Ma. Bia udah maafin Mama, kok! Bia sayang Mama!"
"Mama juga sayaaang banget sama Bia."
Lantas, mereka berpelukan.
Aku mendengkus, atas opera sabun murahan yang barusan kusaksikan. Hanya ada satu alasan yang dapat kupikirkan, Papa akan pulang. Karena itu sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. That fake bitch.
Aku berjalan ke dapur, melewati Bi Nur yang sibuk menuangkan perasan jeruk ke gelas untuk meraih gelas dan mengambil air putih.
"Non Isa tadi diantar pacarnya, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022