Chapter 39

5.3K 1K 71
                                    


Aksal menatap buku catatan di tangannya. Ia rasa ... ia tahu dimana letak kesalahannya, di mana titik yang membuat hubungan mereka patah secara tiba-tiba.

Tempo hari, Nino menemukannya di depan pintu saat ingin ke toilet. Aksal pikir, dia tanpa sengaja telah menjatuhkannya saat ingin ke ruang musik. Tetapi setelah diingat lagi, tidak, dia tidak menjatuhkannya. Yang benar adalah, dia tidak sengaja meninggalkannya di atap.

Apakah ... Isa telah mengantarkannya dan mendengar percakapan ia dan Nino waktu itu?

Pertanyaan itu terus membayangi kepala Aksal sejak semalam. Karena jika jawabannya iya, pastilah semua itu hanya salah paham. Ia merasa perlu menjelaskannya semuanya. Untuk itu, ia harus bertemu Isa. Namun menemui gadis itu adalah hal yang sulit. Terutama, setelah Isa secara sepihak mengatakan bahwa dia ingin putus. Dan Aksal terlalu terkejut untuk menyanggah.

Namun hari ini, Aksal telah memutuskan. Mereka harus bicara.

Tolong temui saya siang ini.

Di atap.

Sekali aja, please.

Ia telah mengirim pesan untuk Isa. Meski pesan-pesannya, berserta panggilan-panggilannya tidak pernah dijawab, namun setidaknya Aksal tahu dia selalu membacanya. Ia memintanya untuk datang ke atap siang nanti. Di sana ia akan menjelaskan semuanya, harus menjelaskan semuanya. Ia berharap ... gadis itu akan datang menemuinya. Meski untuk kali terakhir.

***

[Dua minggu lalu]

Aksal baru saja kembali dengan terburu ke ruang musik, takut bahwa ia terlambat latihan. Nyatanya, dia malah menjadi orang kedua yang datang paling awal setelah Nino. Aksal sampai mengangkat alisnya melihat Nino di sana. Pasalnya, ini Nino. Nino yang biasanya selalu datang belakangan, yang langganan terlambat.

"Tumben," sapanya.

Nino menyengir, seolah mengerti darimana keheranan Aksal berasal.

"Gue tadi ngebolos, hehe," jelasnya tanpa merasa bersalah. "Adila nggak ada di luar kan? Buset ngintilin gue mulu abis gue putusin! Serem banget!"

"Ya makanya jangan mainin cewek." Aksal memutar bola mata, lantas mengambil posisi duduk di sofa.

Sedikit menyesal. Ah, jika tahu teman-temannya yang lain belum datang, ia bisa sedikit lebih lama mengobrol dengan Isa.

"Jadi lo bener pacaran nih, sama cewek itu? Siapa namanya? Ilsa?" Nino tiba-tiba menceletuk. Seolah ia dapat membaca siapa yang sedang dipikirkan Aksal.

"Isa," Aksal mengoreksi.

"Iya, itu. Serius, bro? Maksudnya, kan lo nggak kenal. Dia nembak lo gitu aja. Dan lo nerima dia gitu aja?!"

"Hm. Emangnya kenapa?"

"Ya anehlah, anjir! Gila lo! Gue aja minimal PDKT itu dua hari! Ini ujug-ujug lo main iya-iya aja yang nembak."

"Dia nembak gue di lapangan, kalau lo lupa. Di depan semua orang."

"Ya terus?! Lo terima dia karena kasian emang, hah?"

"... Iya."

"ANJIR!" Nino menepuk kepingnya, tak habis pikir. "Iya, gue ngerti empati lo tinggi. Tapi nerima orang karena kasihan malah bakal nyakitin dia, bro."

"Nggak gitu," Aksal terkekeh. "Tadinya ya, gue emang kasihan. Gue nggak mau mutusin depan umum. Gue mau mutusin di belakang. Tapi ya..."

Di situ, Aksal terhenti. Seolah ia juga baru menyadarinya sekarang. Bahwa rencana awalnya, telah lama berubah. Mulanya, dia hanya kaget dengan gadis itu yang tiba-tiba menyatakan cinta untuknya.

Aksal tahu pastilah itu bukan keinginannya sendiri. Karena ia pernah bertemu gadis itu sebelumnya. Di atap, ketika dia sedang berusaha beristirahat setelah hari yang melelahkan. Dia datang. Aksal berpura-pura masih tidur, tidak ingin mengganggunya.

Yang tidak Aksal duga adalah, gadis itu yang mulai memindahkan tumpukan kardus, hanya untuk menghalangi sinar matahari yang mulai terik dari wajah Aksal.

Saat itu, Aksal tidak melihat dengan jelas wajahnya. Namun ia mengenali rambut hitam lurus sepinggang itu, jenis rambut yang bisa ia lihat di iklan-iklan. Ia juga dapat mengenali samar aromanya.

Ketika gadis itu pergi, Aksal bangkit dan mengikutinya. Di sana, ia melihat gadis itu, memberikan Pandawa tatapan ... mendamba.

"Terus, tanpa lo sadari lo mulai jatuh cinta?" Nino menyergah ingatan itu dengan sebuah pertanyaan.

Dan setelah satu menit penuh, Aksal mengangguk. "Ya."

Nino benar. Ia tidak tahu sejak kapan. Ia tidak tahu di titik mana. Tapi di salah satu titik itu, ia telah jatuh cinta. Pada gadis berambut panjang yang memberikannya bunga di lapangan. Yang memindahkan barang-barang hanya untuk menghalau sinar matahari untuknya. Yang menggenggam tangannya ketika Aksal mulai goyah. Yang menyediakan pundak untuknya.

Yang membuatnya merasa jauh lebih baik hanya dengan sebuah senyuman.

Gadis yang sama yang menguatkan Aksal dengan kata-kata sederhananya.

Kenapa pangeran harus selalu melindungi? Kata Isa waktu itu. Padahal dia juga perlu dilindungi. Saya ingin menjadi perisai. Saat kamu merasa takut ..., kamu juga bisa berlindung, di belakang saya.

Dan sekarang Aksal merasa takut ... takut kehilangan perisainya.

***

Aksal berharap ia bisa bicara dengan Isa dan mengembalikan semuanya pada keadaan semula. Ia tidak bisa lebih lama berjauhan. Rasanya mau gila.

Namun siang itu, suatu kekacauan yang di luar dugaan terjadi.

"Sal!" Langit tiba-tiba mendobrak masuk ke ruang OSIS. Dia memang selalu seenaknya masuk ke sana, tahu bahwa tidak akan banyak yang akan dia temui jika tidak sedang ada rapat, dan meski jika adapun, Langit tidak ambil pusing.

Aksal yang tengah berdiri di depan printer sambil menunggu hasil printannya keluar (duh, Pak Mahfud mendadak menginginkan laporan pertanggungjawaban acara donor darah kemaren dikirim siang itu juga), menoleh.

"Ada apa?"

"Lo udah liat grup?"

Aksal menggeleng. "Belum. Gue mau ngasih laporan ini dulu. Terus mau ada urusan. Ada apa emang?"

"Mending lo liat."

"Gue lagi sibuk, Lang. Ada janji habis ini," kata Aksal sembari mengecek jam tangannya. Ia harap Isa belum datang dan tidak harus menunggunya. Atau jikapun dia datang, Aksal harap dia bersedia menunggu sebentar. Aksal berjanji dalam hati, setelah menyerahkan laporan ini ke Pak Mahfud, dia akan berlari untuk menemui gadis itu.

"Ada surat cinta yang kesebar buat lo!" Langit berseru. "Dari cewek bernama Candy."

Gerakan Aksal terhenti. Halaman yang sudah dicetak dimuntahkan dari mulut printer dan jatuh begitu saja ke lantai. Aksal tidak memungutnya karena pikirannya telah melayang jauh. Tentu ia mengenal Candy, gadis manis yang ia anggap seperti seorang adik. Aksal meletakkan kembali kertas-kertas, lantas, berlari ke luar ruangan.

"Woy, Sal! Mau kemana?"

Namun Aksal tak lagi menggubrisnya. Ia berlari kencang. Bukan ke arah tangga menuju atap. Tetapi, dia mencari Candy.

Dan semesta seperti mempermudahnya. Aksal tidak sengaja bertabrakan dengan Candy di koridor. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menunduk dan suara isakan yang berusaha dia telan keluar tanpa sengaja. Gadis itu sedang menangis. Wajahnya basah oleh airmata. Tanpa berpikir dua kali, Aksal merengkuhnya ke dalam dekapan. Menenangkannya.

Aksal tidak mengatakan apa-apa, hanya mengusap punggung Candy, membiarkan airmatanya yang semula ditahan, tumpah begitu saja di seragam Aksal. Di saat yang sama, tatapan Aksal bertemu dengan Isa. Gadis itu tengah menatapnya dari kejauhan. Tetapi Aksal tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak sekarang.

"Semua akan baik-baik saja," bisik Aksal kepada Candy. Dan juga... kepada dirinya sendiri.

Semua akan baik-baik saja, ia harap.

***

One more chapter...


Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang