Mohon maaf lahir batin, ya~
***
Isa menelungkupkan ponsel, membuat panggilan panggilan yang sebelumnya berdering dengan volume rendah menjadi hening. Itu menambah jumlah panggilan tidak terjawab dari Aksal menjadi sembilan belas. Tetapi, Isa tidak berniat menjawabnya. Alih-alih, dia beranjak pergi untuk turun sarapan, meninggalkan ponsel di meja belajarnya.
Ruang makan sepi. Papa kembali pergi ke luar kota, Mama belakangan rutin berangkat pagi-pagi sekali tiga kali seminggu untuk mengikuti kelas kebugaran barunya. Bia tidak terlihat, mungkin sudah berangkat, mengingat sekarang sudah cukup terlambat untuk berangkat ke sekolah.
Selagi ia dengan setengah hati memasukkan potongan telur dan sosis ke mulut, Bi Nur mendatanginya untuk kali sekalian.
"Non. Ini beneran nggak mau ditemuin tamunya? Dari tadi nungguin, Non. Sudah hampir satu jam di situ."
"Bilangin aja, saya nggak masuk hari ini," jawab isa.
Faktanya, ia telah mengenakan seragam sekolah, tetapi keengganan menguasai untuk pergi ke sekolah, untuk memperbesar kesempatannya bertemu Aksal, bertemu semua orang. Ia tidak ingin. Ia hanya ingin sendiri saat ini.
Bi Nur menurut. Wanita itu akhirnya pergi ke luar untuk menemui Aksal sementara Isa sendiri mengamati dari balik kaca. Laki-laki itu sudah lama di sana, tanpa tanggapan. Aksal tampak sekali lagi menengadah pada bagian rumah di mana kamar Isa berada, tampak kecewa. Tetapi dia mengangguk, mengenakan helmnya kembali, lalu memutar balik motornya untuk pergi dari situ.
Akhirnya, Isa tertinggal sendirian.
***
Ada yang salah.
Aksal tahu ada yang salah sejak semalam. Sejak Isa mengabaikan pesan-pesannya, yang berlanjut pada pengabaian panggilan-panggilannya. Dia bahkan tidak menemuinya ketika Aksal berinisiatif menjemput ke rumah gadis itu. Tetapi Aksal tidak tahu apa dan kenapa.
"Sal? Fokus," Navy menegurnya.
Ini adalah kesalahan ketiga Aksal. Untuk ketiga kalinya, dia terlambat mengiringi tempo musik. Aksal meringis, ia sama sekali tidak ingin membuat teman-temannya kerepotan, tetapi untuk fokus adalah hal yang sulit dia lakukan saat ini. Tidak ketika kepalanya dipenuhi tebak-tebakan dan skenario-skenario tentang Isa.
Apa yang salah?
Sehingga ketika waktu sekolah telah berakhir, Aksal mencuri-curi waktu senggangnya untuk kembali ke rumah Isa. Ia menunggu selama hampir setengah jam sebelum wanita paruh baya yang menemuinya tadi pagi sekarang menemuinya lagi.
"Nyari Non Isa?" tanyanya ramah.
Aksal mengangguk. "Isanya ada? Masih nggak enak badan?"
"Udah baikan," jawabnya. Entah hanya perasaan Aksal atau tidak, tetapi wanita itu menunduk, menghindari pandangannya. "Tapi, Non Isa-nya nggak ada di rumah."
"Loh, kemana?"
"Pergi. Ke .. luar. Jauh pokoknya, Den."
"Ya udah. Saya tunggu."
"Eh, jangan! Non Isanya lama, Den. Sebaiknya Aden pulang aja."
Ada keengganan. Sesungguhnya, Aksal tidak memercayai ucapan wanita itu begitu saja. Ia juga tidak ingin pergi begitu saja tanpa bertemu Isa dan mendengarkan penjelasan gadis itu. Tapi Aksal menyadari satu hal; Isa tidak ingin bicara dengannya untuk saat ini. Itukah kenapa dia tiba-tiba sakit? Kenapa tiba-tiba pergi? Dan dari semua itu, kenapa tidak menjawab satupun panggilannya?
Tetapi untuk saat ini, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa memaksa Isa menemuinya sehingga Aksalpun mengenakan kembali helmnya dan pamit pergi. Yang tidak dia lihat adalah ... Isa yang mengintip lewat jendela kamarnya.
***
Hujan turun rintik-rintik siang menjelang sore itu.
Ini sudah hari ketiga. Dan Isa telah kembali ke sekolah.
Hari ini terdapat acara donor darah yang bekerja sama dengan PMI. Sebagian anak sedang belajar di kelas seperti biasa, sebagian kecil yang lain berkumpul di lapangan sekolah, mengisi tempat-tempat di bawah tenda yang tersedia. Guru PJOK, Kesenian, Kepala Sekolah serta Wakasek tampak mengawasi. Sementara anak-anak PMR dan OSIS bahu-membahu, berlarian dari tenda satu ke tenda lain membawa kotak snack, peralatan medis, maupun alat-alat lainnya.
Isa meminta izin untuk turun, satu payung di tangan. Ia berjalan dalam langkah-langkah tenang menuju tenda pendaftaran. Tidak ada antrian di sana sehingga ia dapat diperiksa dengan cepat.
Golongan darah, tekanan darah, berat badan, semua sudah diukur dan dinyatakan memenuhi kriteria. Ia diminta menunggu, mengantri sebelum pengambilan darah.
"Sini, Sal!"
Seseorang berseru dan Isa, secara spontan mendongak. Ketika itulah ia melihat Aksal, berjalan ke arah tendanya, setengah berlari sembari membawa sebuah kotak. Dan tiba-tiba saja, hujan menderas.
***
Semua usahanya tidak membuahkan hasil. Bahkan meskipun Isa telah kembali masuk, cewek itu tetap terus menghindarinya seperti wabah penyakit. Di koridor, di kantin, di tempat-tempat manapun sebelum mereka berpapasan, gadis itu telah lebih dulu membalikkan badan. Pun panggilannya tidak digubris. Ratusan panggilan tidak terjawab dan puluhan pesan memenuhi ruang obrolan mereka, tidak terbaca.
Rasanya seperti ... Isa tiba-tiba menghilang dari hidupnya.
Jujur saja, itu membuat Aksal frustrasi dari hari ke hari.
Bahkan hari ini, ketika ia masih harus melaksanakan tugasnya untuk acara yang telah disiapkan sejak dua minggu lalu.
"Jun! Juned!" Velo terdengar berseru dari tenda pengambilan darah, memanggil Juned, junior di ekskul Palang Merah Remaja yang tengah sibuk di meja pendaftaran. "Juned kapasnya abis! Ambilin satu kotak lagi!"
"Saya aja yang ambil."
Aksal yang merasa linglung hampir sepanjang acara donor darah, akhirnya menawarkan bantuan. Telah cukup lama, ia hanya berdiri di sana.
Veloxa menatapnya sejenak, lalu mengendikkan bahu. "Oke. Sekalian tisu deh, sama obat!"
Dan hal itulah yang membawa Aksal ke UKS, menyiapkan apa-apa yang diminta, memasukkannya ke dalam kotak dus kapas, lalu membawanya melalui jalan paling ringkas; menyeberangi lapangan.
Hujan rintik-rintik ketika Aksal pergi. Namun mendadak, hujan itu menderas. Aksal berjalan lebih cepat, nyaris berlari sehingga beberapa botol obat, secara tidak sengaja terjatuh dari kotak. Hingga Aksal harus berjongkok untuk memunguti semuanya. Membiarkan dirinya basah oleh hujan.
Sampai tiba-tiba, hujan berhenti.
Aksal mendongak untuk menemukan Isa berdiri di hadapannya. Dengan sebuah payung di atas kepala keduanya. Ia meraih botol terakhir yang menggelinding ke dekat kaki gadis itu, memasukkannya kembali ke kotak, lantas berdiri. Hal itu memutarbalikkan level pandangan mereka. Sekarang, Isa yang harus sedikit mendongak.
Isa tidak tersenyum. Ia memasang wajah datar seperti yang biasa dia lakukan. Rambut panjang lurusnya terurai hingga punggung, membingkai tiap sisi wajahnya. Ini mengingatkan Aksal pada awal hubungan mereka. Ketika itu, Isa menghampirinya begitu saja, menawarkan bunga, sembari dengan wajah datar yang sama menyatakan perasaan padanya.
Kecuali, sekarang hari tidak terik seperti waktu itu, melainkan hujan. Kecuali ... Aksal takut, yang akan gadis itu ucapkan bukanlah sesuatu yang membawa matahari, melainkan hujan.
"Saya mau bicara sama kamu," kata Isa, datar.
"Ya?"
"Ayo ... kita putus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022