Embusan angin bertiup dari arah utara menerpa pepohonan tepat di bawah Jeffrian dan Joan berada. Sebentar lagi jam istirahat usai dan sudah saatnya kembali ke sekolah masing-masing.
"Pasti lo ada masalah, kan?" tebak Joan.
"Namanya manusia dan hidup di dunia, mustahil kalau gak ada masalah."
Joan berdecak dengan jawaban yang keluar dari mulut laki-laki di sebelahnya itu. Tidak pernah kalimat serius yang ia katakan, bahkan saat Joan ingin curhat kepadanya tidak ditanggapi, malah mengalihkan pembicaraan.
"Nanti gue ada praktek dan gak bisa pulang bareng," ucap Jeffrian saat menaiki motornya.
"Dih, yang minta bareng siapa juga."
Sudah hafal dengan jalan-jalan kecil yang bisa lewati tanpa harus melewati jalan raya, bisa saja mereka ketahuan berkeliaran di luar sekolah saat jam kegiatan belajar mengajar.
"Jo!" teriak Jeffrian di belakang, karena suaranya yang mungkin tidak dapat didengar oleh Joan. Ditambah dengan jarak duduk mereka.
"Ha?!" Joan pun mendekatkan kepalanya ke bahu Jeffrian. "Penting?! Gue gak bisa dengar! Nanti aja!" teriaknya dan kembali menjarakkan tubuhnya dari Jeffrian.
Jeffrian berdecak kesal sambil menambah kecepatan motornya, padahal apa yang akan dikatakannya demi kebaikan perempuan itu juga.
Masih ada beberapa menit lagi jam istirihat berakhir. Belum pernah Joan menaiki motor dengan kecepatan yang sangat kencang. Bahkan, saat di jalan dia merasa kepalanya akan lepas terbawa helm yang ia kenakan.
Setelah menurunkan Joan di depan sekolah, tawa Jeffrian tidak bisa tertahankan melihat wajah temannya pucat dan mata yang sangat merah.
"Kalau kayak gitu, guru yang lagi piket percaya saudara nenek lo meninggal. Hahaha"
Joan melihat wajahnya dari balik spion motor Jeffrian dan benar apa yang dikatakan laki-laki itu kepadanya. "Salah lo ini, siapa suruh bawa motor macam kesetanan gitu!" rutuknya.
"Lah, salah lo, dong. Kenapa itu kaca helmnya gak dipake? Lihat mata gue, gak merah, kan?" tunjuk Jeffrian ke arah matanya.
Suara bel terdengar hingga keluar pekarangan sekolah, siswa yang berada di luar mulai melangkah masuk. Jeffrian menyodorkan obat tetes mata yang selalu ia bawa di dalam kantong jaketnya.
"Nih, biar gak merah banget. Lain kali, kaca helmnya dipake!"
Mengabaikan apa yang dikatakan temannya, Joan mendongakkan kepala untuk menetes air yang ada di botol kecil itu.
"Terus, orang yang lo bilang tadi. Boleh dekat, tapi jangan naruh perasaan sama dia. Soalnya dia bukan orang yang sama. Sekarang dia bilang bakal gantiin kembarannya, tapi gak ada yang tahu kalau dia bakal ngasih lo luka karena gak sesuai sama orang yang ada di dalam hati lo."
Joan mengedipkan matanya beberapa kali, bukan karena obat yang masuk ke dalam matanya, melainkan karena kalimat panjang lebar yang keluar dari mulutnya.
"Benar Jeffrian anaknya si bunda, kan?" tanya Joan tidak percaya.
"Ck, males dah!"
Jeffrian menyalakan motornya dan pergi dari hadapan Joan, bahkan ia lupa obatnya belum diambilnya. Namun, mata Jeffrian tidak sengaja menatap ke arah segerombolan laki-laki yag berjalan ke arah sekolah.
"Mirip banget. Semoga hati lo kuat, Jo," gumam Jeffrian dan menutup wajahnya dengan kaca helm yang ia gunakan.
🐣HIRAETH🐣
Menyisakan tawa karena raut wajah Jeffrian yang terlihat sangat kesal dan meninggalkannya begitu saja. Joan berjalan mengarah ke dalam sekolah dan langkahnya terhenti ketika melihat Nadhif dan teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH (END)
JugendliteraturDitinggalkan oleh sosok yang paling dia sayangi untuk selamanya membuat Joan merasa kehilangan, tetapi di samping itu pria yang memiliki paras serupa dengan Bagas muncul di kehidupan Joan-Nadhif, kembaran Bagas. Ia mencoba menjadi sosok Bagas yang d...