12: "Jangan Sebut Itu Lagi"

106 9 7
                                    

"... beberapa sekolah sudah menerapkannya, jadi disayangkan sekali kalau sekolah kita belum."

Melakukan presentasi di depan guru bukan hal yang mudah. Sebelum tampil, terhitung tiga kali Joan keluar masuk kamar mandi. Padahal dia melakukan bersama teman yang lain, tapi masalahnya peran dia paling besar.

Wanita dengan gaya anak muda, tapi sudah hampir pensiun yang duduk tepat di hadapan Joan pun mengangkat tangannya.

"Fifiana," panggilnya yang langsung ditanggapi oleh Joan karena beberapa guru sering memanggil siswanya dengan nama depan. "Untuk program di nomor tiga. Apa tidak salah? Kalau siswa diberikan kebebasan seperti ini, mereka bakal banyak ulah dan tidak menutup kemungkinan semakin membangkang."

"Benar, tapi dari yang saya pelajari selama tiga bulan ini. Siswa diberikan kesenangan agar mereka bisa menerima aturan tanpa banyak protes. Memang untuk awal sulit dan di sini peran guru sangat besar karena harus menyiapkan stok kesabaran yang banyak. Kita pahami kemauan mereka biar mereka sayang sama guru, kalau siswa udah sayang. Mereka bakal ngelakuin apa aja buat guru."

"Pasti lama, Fifiana. Bisa saja sekolah kita akan turun ke titik terendah."

"Kalau titik rendah itu bisa memacu kita ke titik tertinggi, gak ada salahnya, kan, Bu?" tanya Joan. "Di dalam pelajaran ekonomi kami diajarkan melakukan pengorbanan untuk sebuah keuntungan. Kita gak bisa langsung loncat ke titik puncak, jika pun bisa kita akan jatuh dengan cepat karena gak punya pondasi yang kuat," jelas Joan.

Guru lain pun menyetujuinya, bahkan Yusril tersenyum puas. Dia tidak salah memilih siswa. "Udah saatnya kita rubah sekolah jadi lebih baik, semoga kalian amanah dan bisa menyelesaikan apa yang sudah dirancang," tutur Yusril.

Melihat empat siswa yang di depan mereka tidak ada yang merasa asing, bahkan dengan Nadhif sekalipun. Tidak satu atau dua guru yang salah memanggilnya dengan sebutan Bagas, membuatnya hampir terbiasa dengan nama kembarannya itu.

"Apa senin depan bisa terlaksana?"

"Kami usahakan, Bapak, Ibu," jawab Jian dengan senyum manisnya. "Beberapa hari ke depan kami akan membantu pegawai tata usaha untuk mendata pelajaran lintas minat yang diinginkan setiap siswa," jelasnya.

Sebelumnya, pelajaran lintas minat memang sudah terlaksana, tapi setiap kelas ditentukan oleh kesepakatan para wali kelas dan sekarang siswa diberi kesempatan untuk memilih. Karena pada dasaranya pelajaran itu bukanlah paksaan.

Untuk situasi kelas dan proses belajar, mereka menyarankan dengan sistem siswa yang mengajarkan kepada guru. Para siswa dapat mengajukan pendapat dengan versinya sendiri dan melakukan pembelajaran seperti sistem perkuliahan.

Bagi kelas dua belas, mereka akan mendapatkan pelajaran khusus untuk melalui ujian masuk universitas yang biasanya mereka dapatkan dari tempat les.

Hari ini satu jurusan di kelas dua belas sudah dimasuki oleh Joan dan Nadhif. Mereka tidak banyak bicara kecuali di depan kelas untuk menjelaskan program baru yang akan dilaksanakan secepatnya.

"Hah, merasa paling bahagia," sindir perempuan yang duduk di belakan kelasnya dan Joan tahu siapa dia.

"Maaf, Kak, ada masalah apa dengan saya?" tanya Joan dengan senyum yang masih bisa ia perlihatkna.

"Lo pasti ngerasa jadi ratu banget, kan? Bagas meninggal dan sekarang gaet kembarannya. Haha, lucu." Siswa itu melipat kedua tangannya di depan dada, bahkan menggerakkan bola matanya tidak peduli dengan tatapan siswa lain yang tertuju ke arahnya.

"Iya lucu, Kak. Apalagi Joannya. Udah lucu gemesin lagi," timpal Nadhif, membuat raut wajah perempuan itu semakin kesal.

Joan memamerkan senyumnya. "Karena di luar topik, jadi saya lanjut ke topik awal," ucap Joan dengan tenang. "Kakak semua bisa mengisi tiga pilihan dan bisa mengikuti tiga kelas sekaligus, tapi kalau gak berdempet, ya."

HIRAETH (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang