14: "Ibu Sakit"

61 10 5
                                    

Perihal suka atau tidak memang sudah wajar di dalam hidup karena tidak semua akan menyukai hidup yang tengah dihadapi. Joan mengakui kesalahannya dan ia merasa bahagia ketika masih ada orang yang berada di pihaknya, termasuk laki-laki yang ada di ujung lapangan itu. Dia Nadhif, tapi Joan melihatnya sebagai Bagas sehingga senyum itu tidak dapat ia sembunyikan.

"Jo," panggil Hana. "Dia Nadhif, lo sadar, kan?" bisik Hana.

Senyum Joan langsung menghilang bersamaan dengan lengan Hana yang ditarik oleh Jian karena ucapannya. "Berhenti nyebut Bagas, bisa, gak?" bisik Jian dengan penuh penekanan.

Joan menganggukkan kepala dan kembali tersenyum "Iya, gue tau dia Nadhif."

Tiga serangkai itu akhirnya kembali ke dalam kelas dan mereka berakhir di depan karena izin keluar terlalu lama.

"Katanya kamu sakit? Tapi kenapa keliaran?" tanya guru geografi yang tengah mengajar di ruangan mereka.

"Tadi Pak Yusril manggil, Buk," ucap Joan memberi alasan.

"Dipanggil Pak Yusril atau dipanggil Nadhif?"

Kepala Joan langsung terangkat ketika nama Nadhif disebutkan. Ia melupakan jika laki-laki itu menyorakkan namanya hingga terdengar ke seluruh penjuru sekolah.

"Kamu juga Jian! Ngapain lama-lama keluar?" tanyanya lagi. "Terus kamu," tunjuknya beralih kepada Hana.

"Bisa-bisanya keluar ketika saya di luar, gak ada izin lagi!" teriaknya di depan kelas, membuat mereka bertiga hanya bisa menundukkan kepala dan itu semua karena nama Joan yang terpanggil melalui speaker utama.

"Seharusnya kalian jadi panutan setelah apa yang kalian lakukan beberapa bulan yang lalu dan kamu Hana. Aduh, gak bisa lagi Ibu ngomong sama kamu. Ada teman yang baik, seharusnya diikuti, bukan kamu yang bawa mereka ke hal yang buruk," omel Friska, mulutnya tidak berhenti berbicara dari tadi.

"Kami juga siswa biasa, Bu, yang pengen nikmati masa SMA dengan kebahagiaan," gumam Hana santai dan dapat didengarkan oleh semua siswa yang ada di dalam kelas.

"Astagfirullah, Hana ..."

Mereka hanya dapat memamerkan senyum karena spesies siswa kategori seperti Hana sangat banyak di sekolah ini.

🐣HIRAETH🐣

Untuk pertama kalinya Joan tidak dapat menghindari kebaikan Nadhif. Jika bukan karena kabar Serin, ia tidak mungkin menerimanya.

"Ke sana jalan kota, Jo, dan lo gak punya SIM, kan? Sama gue aja, soalnya gue udah punya." Nadhif memperlihatkan benda persegi itu untuk memastikan Joan. "Tambah lagi pikiran lo lagi gak tenang. Sekali ini aja, biarin gue bantu lo, ya?"

Sedang mengadakan pertemuan organisasi untuk membahas anggota yang akan diikutkan sebagai pengawas pawai yang akan diadakan minggu depan, Joan mendapatkan telepon dari ayahnya jika Serin dilarikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri dan Alby pun langsung mengabari Nadhif untuk mengantarkan Joan.

"Ya udah," jawab Joan dengan pasrah sambil menyerahkan kunci mobilnya.

Sesekali Nadhif melirik Joan, perempuan itu sangat jelas sedang menahan air mata. Entah karena tidak ingin memperlihatkan atau memang tidak ingin terlihat lemah.

"Kalau mau nangis, ya, nangis aja, Jo."

Joan menggelengkan kepala, dia diajarkan untuk tidak menangis dalam menghadapi masalah. Sesampai di rumah sakit Joan langsung menyusul ayahnya setelah mengambil kunci mobil dari Nadhif dan menyuruhnya kembali.

"Gak boleh gue ikut lihat ibu lo?" tanya Nadhif. Langkah Joan terhenti.

"Buat sekarang jangan dulu, gue takut pikiran ayah gue nambah karena tahu anaknya diantar sama cowok," jawab Joan dan meninggalkan Nadhif. Namun, baru beberapa langkah Joan kembali sambil mengeluarkan uang lima puluh ribuan kepada Nadhif. "Makasi, ya. Lo bisa nyari ojek online biar cepet sampai rumah atau mau balik ke sekolah."

HIRAETH (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang