Bangun jam empat subuh sudah menjadi rutinitas Joan beberapa hari ini. Ibunya tidak bisa mengurus kebutuhan dapur hingga keperluan adik-adiknya membuat ia harus menggantikan posisi itu.
Terhitung satu minggu Serin terbaring di tempat tidur, bahkan untuk ke kamar mandi saja harus dibantu oleh Syarif.
"Kak, tolong ambilin ember!" teriak Syarif dari dalam kamar.
Joan yang baru saja menghidupkan api kompor kembali matikannya dan mengambil ember lalu bergegas ke kamar. Melihat ibunya yang sangat kurus membuat ia tidak bisa menahannya lagi.
"Bu, ke rumah sakit aja. Mana ada demam biasa sampai kayak gini," ucap Joan sambil mengusap punggung Serin dengan air hangat yang sengaja di masukkan pada botol untuk memijat punggung ibunya.
"Ini karena Ibu haid juga, makanya lemes. Paling masuk angin."
Kali ini tatapan Joan beralih kepada ayahnya. "Ibu bisa aja kurang darah, Yah. Periksa doang apa salahnya, sih," protes Joan. "Atau Joan bilang sama si Kakak kalau ibu sakit, nih. Biar dia pulang," ancam Joan.
"Heh, jangan bikin kakakmu kepikiran. Bali-Padang itu gak dekat, Kak!" Serin memaksakan meninggikan nada bicaranya dan berakhir batuk lalu mengeluarkan semua cairan yang ada di dalam perutnya.
Joan menghela napas sambil menatap ayahnya. "Joan pulang sekolah nanti, harus dapat kabar gimana kondisi ibu, ya," tuturnya dan keluar dari kamar orang tuanya untuk melanjutkan membuat sarapan sekaligus bubur untuk Serin.
Lelah? Jangan ditanyakan, beberapa kali ia mengeluh tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya. Bahkan, belakangan ini waktu istirahatnya hanya beberapa jam. Belum lagi dengan aktivitas sekolah, melakukan pengarahan kepada teman-temannya dan hari ini dia harus kembali ke organisasinya setelah mengambil cuti beberapa bulan.
"Kakak bawa mobil aja, ya? Sekalian anterin adek ke sekolah dulu." Syarif menyodorkan kunci mobil kepada anaknya, padahal Joan berniat berangkat dengan Jeffrian agar lebih cepat.
"Tapi, SIM Kakak belum ada, Yah." Joan melemaskan bahunya, dia memang sudah bisa mengendarai mobil, tapi umurnya belum mencukupi. "Lagian, gak jadi antar ibu ke rumah sakit?"
"Ibu gak bisa ditinggal sendiri, nanti siang Ayah minjam mobil ayahnya Jeff. Lebih cepat aja berangkatnya, biar gak telat." Syarif diam beberapa saat. "Mau gimana lagi, kalau naik motor kamunya belum fasih. Kamu baik-baik aja di jalan," sambungnya. Karena tidak ada cara lain lagi.
Tidak bisa menolak, lagi pula memang sudah kewajibannya pula mengurus hal seperti ini jika Serin tidak bisa.
Dua anak laki-laki bersergam putih merah dan putih biru keluar dari kamar dengan wajah murung karena harus berangkat lebih pagi.
"Bentar lagi, Kak. Jam segini belum ada orang di sekolah." Belum sempat Joan menanggapi, tatapan Syarif membuat mereka langsung meluruskan punggungnya. "Iya, Yah. Nanti Kakak telat. Ya udah, ayo berangkat!" teriak si bungsu sambil berjalan ke luar rumah.
Hanya dengan tatapan, mereka langsung mengerti. Ya, memang begitu didikan Syarif yang sudah ia tanamkan dari kecil. Jika orang tua hanya menatapnya, berarti ada yang salah dengan perbuatan mereka.
"Itu pergi kayak ayam aja? Gak salaman sama Ayah sama ibu?"
Ferdi dan Fernan langsung berbalik dan berlari ke arah Syarif dan masuk ke kamar Serin untuk bersalaman lalu di susul oleh Joan di belakangnya.
🐣HIRAETH🐣
Hari ini Joan memutuskan untuk tidur di ruangan UKS setalah meminta izin kepada guru yang mengajar di kelasnya karena bisa dikatakan dia tidak tidur semalaman. Serin sudah diperiksa, tapi kata Syarif, ibunya hanya perlu meminum jus tomat hingga pemeriksaan kedua. Joan tidak tahu apa yang terjadi kepada ibunya, tapi ia tahu jika mereka menyembunyikan sesuatu darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH (END)
Fiksi RemajaDitinggalkan oleh sosok yang paling dia sayangi untuk selamanya membuat Joan merasa kehilangan, tetapi di samping itu pria yang memiliki paras serupa dengan Bagas muncul di kehidupan Joan-Nadhif, kembaran Bagas. Ia mencoba menjadi sosok Bagas yang d...