30: "Kembali?"

42 7 1
                                    

Tidak ada untungnya untuk memikirkan masalah percintaan disaat umur masih jauh dari kata dewasa. Jeffrian melihat pantulan wajahnya dari layar ponsel dan sedikit tersenyum.

"Udah ganteng begini, masih ada diselungkihin, kurang apa gue?" tanyanya sambil terkekeh.

Dia tertawa bukan karena mendengar kabar jika pacarnya selingkuh, tetapi dia tertawa karena teringat dengan kalimat yang pernah Joan katakan kepada dirinya. 'Jangan percayakan pacarmu kepada teman sendiri.'

Laki-laki si pemilik mata sipit itu menghela napas singkat. Setelah kembali dari rumahnya, Joan tidak ada memberinya kabar. Dia seakan hilang telan waktu. Namun, tidak asing lagi akan hal itu karena mereka akan saling menghubungi jika ada keperluan.

"Nanya ikan gue aja kali, ya," gumam Jeffrian asal. "Tapi, kan, ada Bunda," sambungnya.

Malam ini Jeffrian ingin mendengarkan suara Joan, tetapi dia tidak memiliki topik pembicaraan. Sebenarnya ada yang harus mereka bicarakan, seperti  hubungan Joan dengan laki-laki yang dianggap Jeffrian aneh, padahal dia sendiri lebih aneh. Namun, dia tidak ingin mencampuri masalah perasaan temannya sendiri.

Teman?

Satu kata itu menghantui Jeffrian akhir-akhir ini. Dia dengan Joan hanya sekedar berteman, tetapi dia malah megkhayalkan jika bundanya akan menjodohkan dia dengan Joan.

"Haha, gila kau, Jeff," gumam nya sambil tertawa.

Jeffrian menggelengkan kepala, dia akan semakin gila jika dibiarkan seperti itu. Walau nama Joan yang menghantui pikirannya, tetapi tetap kontak Anka yang menjadi tujuan panggilannya.

"Assalamualaikum Bunda nan cantik jelita," salamnya sambil tersenyum.

"Waalaikumsalam. Tumben, udah habis duitmu?" tuduh Anka dan raut wajah Jeffrian langsung berubah. Membuat bundanya tertawa. "Gak sadar umur, dikata lucu kamu begitu," sambung Anka sambil terkekeh.

"Bunda gak niat mau jodohin Abang sama anak teman Bunda?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Jeffrian membuat Anka terkejut. Walau dia tahu hanya sebuah candaan, tetapi sangat jarang Jeffrian mengatakan hal yang berbau pernikahan.

"Bener mau Bunda jodohin?"

Jeffrian memamerkan giginya yang rapi sambil menggelengkan kepala dan Anka sudah tahu itu akan terjadi. Memang butuh kesabaran banyak jika memiliki anak seperti Jeffrian. Mereka hanya berbincang dan lebih banyak Jeffrian yang mengoceh masalah di tempat dia magang.

Jika bukan karena ayahnya mengganggu waktu Jeffrian dan Anka, bisa saja mereka akan berbicara berjam-jam, layaknya pasangan.

"Ayah cemburuan, gak asik!" dumal Jeffrian dan kedua orang tuanya malah tertawa dari balik ponsel.

"Adekmu itu telepon kalau gabut, bukan istrinya ayah. Makanya punya pacar, percuma kau ganteng, tapi gak ada pacar."

Jeffrian seperti dilempar dengan batu oleh ayahnya, tetapi yang dikatakannya memang benar.

"Males, Yah. Dia sibuk sama pacarnya sendiri," gumam Jeffrian.

Setelah panggilan berakhir, Jeffrian kembali mengembuskan napas berat. Dia belum bisa terlelap dan satu nama kembali muncul.

"Ck, pasti dia lagi ngebucin jam segini," gumamnya seraya mencari kontak Joan.

Berniat untuk tetap mengganggunya, Jeffrian pun hampir menekan tanda panggilan. Namun, sebelum jarinya menyentuh layar ponsel  sebuah panggilan terlihat di layar dan menampilkan nama Joan. Tanpa disadari, laki-laki itu tersenyum selama dua detik, lalu menggeser ikon di San.

"Kaa ..."

"Jangan ngomong, temenin aja, gue lagi capek," ucap Joan pelan dan beberapa detik kemudian dia menangis. Membuat Jeffrian kebingungan.

Senyum tadi langsung lenyap dan Jeffrian mengubah posisinya. Ingin bertanya apa yang terjadi kepada perempuan itu. Namun, kata 'cape' yang disebutkannya mungkin saja perihal dia di rumah dan tidak mungkin aktivitasnya di sekolah yang akhir-akhir ini membuat Joan merasa bersemangat. Sayangnya, dugaan Jeffrian salah.

Tanpa menanyakan alasan Joan menangis, Jeffrian membiarkannya beberapa menit hingga telinganya lelah mendengarkan tangisannya.

"Mau nangis atau dengerin cerita gue? Kebetulan ada cerita seru," ucap Jeffrian.

Di seberang sana, Joan tengah mengatur napasnya pelan. Memang sudah benar jika ingin menangis cukup cari Jeffrian karena dia akan membiarkan tanpa bertanya.

"Nangisnya ampe segukan?" tanya Jeffrian dan Joan menggelengkan kepala walau tidak terlihat oleh laki-laki itu. "Ngomong lagi, Jo," suruh Jeffrian.

"G-gak mau —"

Jeffrian menghela napas singkat, dasar perempuan, batinnya. "Ya udah, dengerin aja."

Laki-laki itu kembali membaringkan tubuhnya, menatap langit kamar dan tanpa disadari posisi Joan dan Jeffrian sama. Jeffrian menceritakan secara detail kisah yang baru saja dialaminya.

Korban selingkuh dan selingkuhannya adalah teman Jeffrian sendiri. Tanpa disadari, Joan malah tertawa.

"Buat ngetawain gue, ada tenaga lo," dumal Jeffrian dan Joan masih tertawa. "Ketawa kau, ketawa."

Jeffrian pasrah, dia tidak marah. Malah Joan bisa tertawa lagi membuatnya senang.

"Udah gue bilang, kan, jangan percaya sama temen."

"Siapa pula yang percaya, nanti rukun iman nambah."

Tidak sampai di sana, Jeffrian juga mengatakan jika ia diomeli oleh ayahnya karena mengganggu Anka dan Joan kembali tertawa.

Tangis Joan tidak bertahan lama, bahkan ia lupa dengan rasa lelah dan sakitnya karena Jeffrian. Joan tidak berniat untuk mengatakan alasannya menangis, lagi pula Jeffrian akan memarahinya. Jadi, sekarang ia hanya perlu melupakan sejenak, lalu membawa tidur untuk menyiapkan tenaga.

Untuk pertama kalinya, Joan tertidur dengan dongengan ikan milik Jeffrian. Ah, laki-laki itu terlalu berbakat untuk membangun suasana. Namun, sebelum tidur, Joan masih bisa mendengarkan kalimat yang dikatakan oleh Jeffrian kepadanya.

"Tunggu gue balik, Jo. Lo sekarang butuh rumah, walau hanya untuk sekedar singgah karena lo lagi kehilangan rumah dan mencoba cari rumah yang sama, tetapi pemilik yang berbeda."

Joan tidak mengatakan apapun, dia hanya diam dan melanjutkan tidurnya, menganggap tidak mendengar apa yang dikatakan oleh temannya itu yang ia akui jika itu benar. Dia tengah merindukan rumah yang hilang.

🐣HIRAETH 🐣

Sudah tahu kenapa mata Joan membengkak membengkak membuat satu rumah hanya dia, seakan tidak terjadi apa-apa. Ditambah lagi, Joan tidak mempermasalahkan karena ayahnya memang begitu. Tidak ada alasan untuk membantah orang tua apalagi jika dibawa ke arah yang baik.

Pagi ini Jian menjemput Joan ke rumah, tetapi karena Syarif yang belum percaya kepada anaknya malah menyuruh Jian meninggalkan motornya di rumah dan mereka akan pergi bersama dengan mobil milik ayahnya Joan.

Tidak perlu bertanya, Joan akan menjelaskannya nanti dan Jian meninggalkan motor yang ia bawa.

Banyak yang akan diceritakan oleh Joan kepada temannya. Tentang ayahnya dan termasuk hubungannya dengan Nadhif yang sudah usai. Namun, belum sempat mengatakannya, Nadhif telah menunggu di parkiran sekolah.

Baru saja Syarif meninggalkan pekarangan sekolah, Nadhif langsung membawa Joan pergi.

"Ji, izinin Joan kalau telat, ya!" teriaknya dan Joan tidak dapat berbuat apa-apa, selain mengikuti ke mana laki-laki itu.

Kali ini ucapan Jeffrian menyadarkan Joan, jika Nadhif hanyalah rumah yang terlihat sama dan dia tidak boleh untuk terlalu memaksakan diri.

Joan berpikir hubungannya akan berakhir, tetapi itu tidak terjadi. Nadhif memohon untuk kembali lagi.

HIRAETH (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang