Sudah seperti rombongan pawai yang akan diadakan besok saja. Tadinya yang berniat mengantar Joan hanyalah Nadhif, tapi dengan alasan tidak baik Joan mengendari mobil malam-malam, Angga pun bersedia menggantikan Joan menyetir hingga rumahnya dan yang lain mengiringi.
"Lucu banget," ucap Joan melihat ada empat motor yang ada di belakangnya. "Padahal gue bisa sendiri," sambungnya dan kembali menatap ke depan.
"Karena lo cewek dan lo juga bukan sembarang cewek."
"Jiakh, lo kata gue apa?"
"Balik jadi Joan yang dulu emang gak bisa, Jo?"
Pertanyaan Angga membuat senyum Joan menghilang. Apa dia benar berubah? Di mana letak perubahannya? Dia tidak menyadari itu.
"Emang sebanyak itu, ya?"
Angga malah tertawa sambil melirik perempuan yang ada di sebelahnya. "Banyak banget. Kalau Bagas bangkit dari alam kuburnya, mungkin dia yang kaget lihat lo sekarang."
Joan tidak dapat menyembunyikan tawanya. "Gue yang takutlah kalau begitu," timpal Joan.
"Ya, mana tau karena lo terlalu kangen, hantunya Bagas sabi jugalah." Joan menggelengkan kepala dan matanya melihat pada spion yang masih memperlihatkan rombongan di belakang, termasuk Nadhif. "Dia ada sama kita, Jo. Lo jangan ngehindar terus," sambungnya.
Entah kenapa teman-teman Bagas selalu meminta Joan untuk menerima hadirnya Nadhif. Mereka tidak berpikir jika Joan menerima laki-laki itu di dalam hidupnya, sama saja menanamkan sebuah rasa sakit. Wajah memang serupa, tapi saat Joan menaruh rasa lantas apa yang terjadi? Dia akan terluka karena Nadhif bukanlah Bagas yang mencintainya.
Serin terkejut saat anaknya diantar oleh rombongan, ia takut jika terjadi sesuatu kepada anaknya.
"Ngeyel dia Tante, nangis kalau gak diantar pulang," ucap Nadhif saat Serin mengusahakan untuk membuka pintu.
"Padahal bisa nginap di sekolah, tadi dia juga udah bilang," balas Serin, tapi Joan hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada semuanya.
"Makasi, Dhif," ucap Joan dengan nada pelan, tapi masih bisa didengar oleh laki-laki itu dan dia menganggukkan kepala.
Serin terus menatap anaknya sambil tersenyum ada rasa curiga kepada anak gadisnya itu. "Kangen Ibu atau emang mau jalan sama Nadhif aja? Memanfaatkan ayah yang gak di rumah?"
"Apaan, sih, Bu. Gak lah," tangkas Joan, dia tidak terima dengan tuduhan yang dilemparkan oleh ibunya itu. "Udah malam, Ibu mending tidur aja. Kakak mau makan dulu, laper."
"Lah, kamu belum makan?"
"Gak sempat, Bu. Balik dari rumah tadi langsung bantu ini itu. Banyaklah, tapi udah selesai. Besok tinggal acara," jawab Joan dengan senyum lebarnya sambil mengangkat kedua alis.
Dia pun memastikan Serin kembali ke kamar dan baru berjalan menuju dapur tanpa mengganti pakaian yang ia gunakan seharian. Alasan awal dia tidak ingin menginap di sekolah karena memang memikirkan ibunya di rumah. Namun, ada alasan lain yang membuat Joan tidak bisa berada di sana, yaitu omongan buruk yang tidak henti tertuju kepadanya.
"Gak apa-apa, namanya manusia, Jo," ucapnya kepada diri sendiri.
Hal lainnya, Hana dan Jian semakin dekat dengan Alby dan teman-temannya. Bahkan, Jian sendiri sangat akrab dengan Alby, laki-laki yang belum pernah dekat dengan perempuan mana pun selama SMA. Hana pun juga dekat dengan Angga, kegilaan mereka mempersatukan. Lalu Joan? Bagaimana dia bisa bahagia jika bayangan Bagas masih berputar di kepalanya.
"Ada Nadhif," gumamnya. "Tapi, perasaan gue tau mana lo dan mana Nadhif, Gas," sambungnya seakan tengah berbicara dengan Bagas.
"Gue takut, Gas, kalau Nadhif terus baik sama gue dan gue suka dia, gimana dong?" Joan mengembuskan napas lalu menyuap nasi yang sudah dingin di depannya. "Makan yang banyak, Jo. Lo butuh tenaga buat bedain mana Bagas dan mana Nadhif," sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH (END)
Подростковая литератураDitinggalkan oleh sosok yang paling dia sayangi untuk selamanya membuat Joan merasa kehilangan, tetapi di samping itu pria yang memiliki paras serupa dengan Bagas muncul di kehidupan Joan-Nadhif, kembaran Bagas. Ia mencoba menjadi sosok Bagas yang d...