4. Salju yang Meleleh

15.3K 1.7K 200
                                    

Uwi sudah terkantuk-kantuk menemani Lily yang menunggu Mas David mengajar. Pacar Lily sedang menjadi tutor belajar bersama, salah satu program kerja PPI Munich.

Otak Uwi yang kapasitasnya kecil sudah nggak sanggup menerima materi. Tuhan, dia ingin tidur saja. Uwi nggak pernah punya target nilai, yang penting bisa lulus.

Nilai GPA atau IPK tertinggi di Jerman adalah 1 dari skala 5. Kalau mau mendapat nilai mendekati 1 seperti Lily, jelas Uwi harus jungkir balik belajar 22 jam sehari. Tapi yang ada dia bakal tipes, bukannya lulus ujian.

"Ly, pulang yuk?" Uwi merajuk sambil menahan kuap.

"Ngantuk ya Beb? Bentar, gue ngomong ke Mas Dave dulu ya."

"Mas." Lily mencolek bahu Mas David. Pria itu langsung menoleh.

Wajah Mas David yang sudah layu mendadak segar kembali. "Iya, Sayang," tanggapnya dengan tutur lembut.

"Aku sama Uwi mau pulang duluan ya. Kasian Uwi udah ngantuk." Iya, yang ngantuk memang cuma Uwi. Mata Lily masih berbinar, dia masih semangat 45 untuk belajar.

Akhir-akhir ini hobi Lily memang belajar. Ke apartemen Mas David untuk belajar, piknik barengpun sambil bawa buku, sampe rumah masih aja mantengin laptop untuk baca materi kuliah. Pokoknya nafsu belajar Lily membuat Uwi bergidik ngeri. Tapi Uwi tetap nggak ketularan rajin. Masa gue harus punya pacar rajin dulu sih biar semangat belajar.

"Jangan. Biar saya antar kamu sama Uwi. Sebentar, ini juga udah mau selesai."

Kampus Uwi dan Lily berada di Munich, sedangkan rumah mereka terletak di Freising. Jaraknya cukup jauh dan bisa ditempuh dengan S-Bahn, kereta atas tanah. Sepertinya selama satu semester ini Uwi dan Lily nggak pernah lagi merasakan pulang ke rumah naik S-Bahn. Berkat pacar alias driver pribadi Lily.

Sang driver akhirnya menyudahi materi belajar. Demi mengantar pulang majikan. "Guys, udahan dulu ya. Kalo masih bingung tanya via chat aja," tutup Mas David malam ini.

"Beneran udah selesai? Aku jadi nggak enak," ucap Lily.

Ngapain nggak enak sih Ly? Udah malem juga, nggak enek apa lo belajar mulu?! Uwi hanya sanggup ngedumel di dalam hati. Energinya sudah terserap habis akibat memakai isi otaknya yang berharga untuk belajar.

"Udah kok, Yi. Kan saya janji sama Mama Papa Teteh Aa mau antar kamu pulang." Yiyi adalah nama panggilan Lily di keluarganya. Hanya Mas David yang ikutan memanggilnya begitu.

Beberapa menit kemudian Uwi memejamkan mata di jok belakang mobil Mas David. Nyonya Lily jelas duduk di depan, nggak akan membiarkan pacarnya terlihat seperti supir.

Mata Uwi berat nggak bisa terbuka, seakan sedang dibebani batu lima kg. Tapi sialnya telinganya masih berfungsi. Mendengar kalimat-kalimat mesra di antara Mas David dan Lily.

"Capek ya, Mas?"

"Enggak kok Sayang."

"... besok ... bukan ... engga kok ... sayang kamu banget."

"...love you too ... boleh ... makan dulu ... bagus ..." Sial, mengapa telinga Uwi seperti memiliki radar khusus hanya untuk menangkap kata-kata yang mesra.

Selama ini Uwi selalu mengikrarkan dirinya sebagai cewek single bahagia. Yang nggak perlu cowok kecuali yang menguntungkan. Tapi, satu semester menjadi penonton kemesraan Mas David-Lily, membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri.

Lo bener single bahagia apa jomblo menyedihkan Wi?

Baru kali ini dia mengharapkan Aga datang. Biasanya lelaki itu yang akan menyelamatkannya dari himpitan dua sejoli yang dimabuk asmara. Tapi, Aga dan kegiatan 'belajar' itu bukan hal yang bisa disatukan.

Memetik Bulan [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang