14. Perjalanan Pulang

11.9K 1.8K 403
                                    

Panjang banget, aku males bagi dua chapter. Bacanya pelan-pelan aja ya.

"Sabtu depan kita bisa jalan-jalan lagi, Ya," Raka masih punya kesabaran untuk merayu Rea yang sudah satu jam menangis dan menjerit di dalam mobil. Literally menangis tanpa henti. Tenggorokan Uwi sampai kering karena terlalu lama mengucap bujuk rayu yang nggak mempan juga.

Rea nggak mau pulang ke rumah. Katanya, kalau bisa dia mau pindah dan tinggal di hotel itu seumur hidupnya. Karena bisa puas berenang dan bermain. 24 jam terakhir Rei dan Rea puas berenang di kolam yang hangat airnya, main golf mini, melakukan aktifitas khusus anak seperti melukis dan membuat kerajinan, bahkan kedua bocil itu kuat sekali ikut trekking pagi mengelilingi hutan dan lembah di kawasan hotel.

"Diem, Ya. Kuping Bang Iko sakit dengerin kamu nangis mulu," omel Riko.

"Yaya cengeng," ledek Rori sambil ngemil pringles yang dibeli oleh Raka.

"Padahal nggakpapa banget kamu ditinggal di hotel itu sendirian, kita semua tetap pulang ke Bogor. Biar aja kamu tinggal di sana sendiri," celetuk Rei santai, yang memancing tangisan Rea semakin kencang.

Inhale. Exhale, fokus Uwi dalam hati. Pemandangan kemacetan dari tumpukan mobil-mobil plat B dan F yang nggak bergerak di jalan raya Pasteur, dikombinasikan dengan adik-adiknya yang senang memancing keributan, membuat kedongkolan Uwi semakin menggunung.

"Yaya belum puas jalan-jalannya ya? Yaya mau staycation lagi di hotel? Atau mau coba jalan-jalan ke tempat wisata yang lain nggak?" Raka masih mencoba merayu.

"Kemana emang, Mas?" Rea akhirnya menjawab meski diiringi senggukan.

"Yaya maunya ke mana? Nginep di hotel? Ke kebun binatang? Atau ke akuarium yang besar?" tanya Raka dengan intonasi lembut. Bagaimana bisa emosinya nggak terpancing di saat dia harus menyetir mobil manual di kala macet total? Padahal tiga lelaki di belakang sudah menyerah dengan ketantruman Rea.

Ajaib loh. Tangisan Rea berhenti total. "Yaya belum pernah ke kebun binatang. Kata Mama sebenarnya pernah waktu Yaya bayi, tapi Yaya nggak inget. Kak, tunjukin foto Yaya waktu di kebun binatang ke Mas Raka. Di foto itu Yaya cantik dan imut banget."

Memori hp Uwi dipenuhi oleh foto dan video Rea. Haram hukumnya menghapus dokumentasi adik perempuannya. Rea bisa tantrum lebih parah.

Sambil mengubek folder lama di galeri ponsel, Uwi menanggapi "Mas Rakanya lagi fokus nyetir, Ya."

"Bisa kok. Mumpung lagi stuck. Kelihatannya mobil nggak akan maju beberapa menit ke depan."

Mengambil ponsel Uwi, Raka memperhatikan secara seksama foto Rea. Lebih tepatnya wajah Uwi beberapa tahun lalu yang menggendong Rea bayi. Cantik khas anak remaja.

"Ini di ragunan ya? Kalau ke Taman Safari pernah nggak?"

"Nggak pernah, soalnya mahal. Kata Mama sama Kakak hewan-hewannya sama aja kayak di ragunan," sahut Rei dari belakang.

Anak kecil memang terlalu jujur. Si kembar pernah merengek ingin ke Taman Safari karena teman-teman sekelasnya cerita pernah ke sana. Tapi Mama malah mengajak mereka ke ragunan, karena harga tiketnya dari dulu cuma empat ribu rupiah. Tapi jelas, lagi-lagi hanya wacana karena kesibukan orangtua mereka.

Setelah melirik jam tangannya, Raka membuka google maps di ponselnya. "Hmmm... ke arah puncak merah darah, macet total. Kayaknya nggak sempet kalo ke Taman Safari hari ini. Kalau sabtu depan mau nggak ke Taman Safari sama Mas Raka?" Raka membalikkan badannya ke belakang. Menghadap Rei Rea yang duduk di kursi penumpang baris kedua.

"Mauuuuuuuuu!" teriak Rei Rea kompak.

"Ka, jangan dijanjiin," Uwi nggak bisa membayangkan akan sengamuk apa mereka berdua kalau nggak jadi.

Memetik Bulan [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang