8. Putus atau Terus

9.9K 1.6K 276
                                    

Maaf ya lamaa. Lagi sibuk banget di dunia nyataa.

Belum pernah Uwi merasa sealim ini. Intensitas ibadahnya meningkat drastis saat bulan puasa. Jangankan mengaji, tahun lalu saja puasa dia bolong 5 hari di luar menstruasi. Saking nggak kuatnya puasa dari jam 3 pagi hingga 10 malam.

Tapi tahun ini, selain puasanya belum bolong, Uwi juga sempatkan tarawih, tadarus hingga hampir hatam 30 juz Al Quran, bahkan solat tahajud sebelum sahur.

Setiap Lily menghangatkan makanan sahur untuknya, Uwi pasti sedang menangis di atas sejadah. Tanpa henti melantunkan zikir dan istigfar atas himpitan di dada yang kian memekat.

Kegalauannya meningkat ratusan kali lipat kala melihat video Aga saat ibadah untuk pertama kalinya. Mulut yang biasa melontarkan kalimat-kalimat mesum, justru melantunkan lagu pujian yang paling khidmat sampai lelaki itu menangis. Memejamkan mata, menyanyi dengan suara paling kencang, sambil menengadahkan kepalanya ke atas. Seolah Aga berteriak meminta kedamaian dan pertolongan Tuhannya. Tuhannya Aga.

Semakin membesarnya perasaan Uwi, semakin besar tanda tanya di kepala, akan dibawa kemana hubungan ini?

Setiap malam Uwi meminta petunjuk. Bukannya jawaban yang didapat, tapi malah hatinya yang makin gusar.

"Assalamualaikum Ibu. Udah makan sahur Bu? ... Ibu masak apa hari ini? ... Lily sama Uwi sahur pake semur ayam sisa buka puasa semalem ... Uwi? Oh, masih solat tahajud, Bu ... Mau Buuu. Lily mau. Tekwan yang Ibu bawain juga enak banget. Uwi juga doyan ... Bentar Lily tanyain Uwi ya Bu."

Mendengar Lily yang menelepon Ibu Mas David dengan ceria di dini hari membuat perasaan Uwi semakin sesak, karena membandingkan nasibnya yang berbanding terbalik. Keraguan Uwi kian menggunung.

Lily berjalan menghampiri Uwi saat air mata sedang deras-derasnya.

"Beb, ditanya Ibu. Mau dibawain bumbu soto betawi nggak. Heiii, kenapa Beb?" Senyuman Lily berganti kepanikan. Uwi hanya sanggup menjawab dengan gelengan kepala. Air matanya tambah tumpah ruah.

"Bu, nanti Lily telpon lagi ya ... Iya, Uwinya nangis," bisik Lily pelan. Setelah telepon tertutup, Lily memeluk Uwi dan mengelus punggungnya dalam diam. Mendengar Uwi yang menangis tersedu. Merintih lirih.

Belasan menit berlalu, Uwi masih menangis pilu. Dalam diam, air mata Lily berjatuhan sama derasnya.

Di tengah rasa sesak, Lily menarik mengambil napas pelan. Dengan suara bergetar, Lily mencoba bersuara. "Gue ngerti. Pasti sakit banget ya Beb? Lo nggak kasian sama diri lo sendiri? Gue tau, tiap hari lo nangis diem-diem. Tapi makin lama makin parah."

Telinga Lily hanya menangkap senggukan Uwi yang amat kencang.

"Gue tau bukan kapasitas gue untuk ngomong. Mas Dave juga ngelarang ikut campur. Tapi gue nggak tahan liat lo menderita kayak gini Wi. Mau sampe kapan lo kayak gini?" lontar Lily dengan suara bergetar.

Lily merasakan Uwi yang menggelengkan kepalanya. "Sakit, Ly. Sakiiit."

"Iya, pasti sakit banget."

"Gue udah ngga kuat tapi nggak bisa pisah."

"Lo bisa," tegas Lily.

"Enggaaak," rengek Uwi.

Lily berseru, "Lo bisa. Kalo perlu gue ingetin, hampir setahun lalu gue ada di posisi lo. Ngerasa Tuhan nggak adil. Dunia kayak mau berakhir. Tapi kalo emang nggak jodoh, pasti Allah kasih kemudahan untuk ngelupain."

Uwi mengurai pelukan mereka. Berhadapan dengan Lily, dia menanggapi, "Lo kan langsung ketemu Mas David. Ya jelaslah gampang ngelupain."

Lily mengusap aliran air mata di pipi Uwi dengan lembaran tisu. "Mana Uwi yang katanya cewek cantik. Uwi yang gue kenal itu pedenya selangit. Yang katanya yakin bisa dapetin cowo ganteng sama tajir."

Memetik Bulan [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang