32. Terlahap Habis

9.8K 1.5K 244
                                    

Seneng dehh semuanya masih optimis ya 🤣. Semangattt, biar sebelum tahun baru udah tamaat 😆💪.

Dengan napas yang semakin terhimpit, Uwi bertanya lagi dengan suara bergetar. "Kamu maunya apa?" Air mata jatuh lagi satu persatu, lama kelamaan debitnya kian kencang. Uwi terisak lagi.

Di tengah kondisi fisik yang semakin melemah, pikiran kacau dan melantur, Raka berjuang menahan tangis. Memandangi wajah istrinya dalam waktu lama, perlahan keegoisan Raka mengakar kuat. Dia butuh Uwi. Dia butuh perempuan itu tetap di sisinya.

Berubah pikiran, Raka memutuskan untuk menjadi egois, dia memberanikan diri untuk berkata, "Jangan tinggalin aku, Ruisha. Meski aku nggak punya apapun, jangan tinggalin aku."

Uwi masih membisu. Perempuan itu berusaha menyelami isi pikiran Raka melalui pandangan matanya. Uwi hanya menemukan anak yang kehilangan arah di sana.

Tanpa aba-aba, Uwi maju mendekap tubuh Raka. Erat sekali hingga rasanya nggak mau Uwi lepas.

Raka meremas kaus di pinggang Uwi. Menahan tubuhnya yang berkeinginan kuat untuk mendekap Uwi. Lalu Raka merasa hampa saat Uwi melepas pelukannya.

Uwi meraup wajah Raka. Sedikit menundukkan kepala Raka, Uwi memastikan tatapan mereka sejajar.

"Raka, dengerin aku." Tangan Uwi sedikit mengguncang wajah Raka, memastikan Raka sepenuhnya sadar dan mereka bertemu di tatap yang sama. Menghirup napas dalam, Uwi berbisik, "Aku nggak akan ke mana-mana, Ka. Apapun kondisi kamu, apapun kondisi kita berdua, aku nggak akan pergi. Aku nggak akan ke mana-mana." Uwi mengucapkannya sepenuh hati, hingga air matanya bercucuran.

"Jangan tinggalin aku, Ruisha," racau Raka lagi.

Kepala Uwi menggeleng kuat. "Nggak akan. Kamu juga, Ka. Jangan lagi tinggalin aku. Apalagi tanpa kabar."

"Aku nggak punya apa-apa lagi, Ruisha," ucap Raka lemah.

"Raka, kamu masih punya aku. Punya keluarga kita. Banyak yang khawatirin kondisi kamu."

"Aku pembawa sial, Wi," ocehan Raka tambah nggak masuk akal.

"Terus keluarin unek-unek kamu. Tapi enggak, kamu bukan pembawa sial." Uwi masih menautkan tatapannya pada mata Raka. Berusaha meyakinkan ucapannya.

"Pak Salim dan istrinya meninggal, Ruisha." Memberi kabar buruk, mata Raka berkaca-kaca.

Uwi terkesiap. Dia terkejut. "Innalillahi. Jenazah mereka udah dikebumikan?"

Raka menggeleng lemah. "Belum. Aku baru mengantar jenazah mereka ke rumah. Sambil menjenguk korban yang lain."

Uwi menatap mata Raka yang kian dikabuti oleh emosi kesedihan. "Kamu boleh nangis, Raka." Uwi meyakinkan Raka.

"Nggak boleh. Aku laki-laki, Ruisha. Aku harus kuat," lirih Raka.

"Laki-laki di hadapan aku juga manusia biasa, yang punya hati dan perasaan. Lihat aku, Raka. Di depan aku, kamu boleh nangis sepuasnya. Aku janji nggak akan pergi."

Raka menggelengkan kepalanya.

Uwi menuntun mereka untuk duduk di sofa. Lalu dia meraih kepala Raka untuk dia dekap di dalam dada. Mengelus punggung Raka naik turun, memancing air mata Raka keluar deras nggak tertahan.

"Berat ya jadi kamu? Menanggung kehilangan dan rasa bersalah yang besar sekali. Tapi enggak, ini semua bukan salah kamu, Raka." Uwi memberi sugesti.

Raka lupa kapan terakhir kali dia menangis. Yang pasti bukan saat orangtuanya meninggal, bukan pula saat dianiaya oleh Maura, atau menghadapi berbagai kegagalan dalam hidupnya.

Memetik Bulan [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang