Bulan lalu Ibu berbicara empat mata dengan Raka. Saat dia dan tunangannya, Maura, berkunjung ke Wisma Duta Wassenar. Bapak sedang menjabat sebagai Dubes di Belanda. Beberapa tahun terakhir Bapak dan Ibu menetap di sana.
Ibu mengutarakan keresahannya akan Mas David, Kakaknya, yang belum kunjung memiliki pasangan hidup. Ibu ingin Raka menunda pernikahannya, kalau bisa Mas David dulu yang menikah. Sesuai adat keluarga Ibu sejak jaman dahulu.
Raka selaku anak penurut, jelas menyanggupi permintaan Ibu. Tapi, dia terlalu takut menyampaikannya pada Maura. Wanita itu pasti meledak-ledak.
Setelah sebulan berlalu, Raka baru memberanikan diri. Meskipun Mas David akhirnya menjalin hubungan dengan Lily, tapi belum terlihat rencana pernikahan mereka ke depannya.
Sesuai dugaan, Maura berteriak kencang. Perempuan itu memang memiliki kekurangan dalam hal mengelola emosi. "Kenapa mesti diundur lagi? Kamu nggak niat ya nikah sama aku? Kamu tau nggak, aku berkali-kali cancel beberapa schedule. Beberapa vendor udah aku bayar lunas!"
Kelemahan Raka adalah Ibu. Apapun yang Ibunya perintahkan, Raka pasti berusaha menyanggupi. Termasuk, menunda pernikahannya.
"Ibu nggak mau aku ngelangkahin Mas Dave, Mo. Kita tunggu Mas Dave nikah duluan. Nanti aku ganti uangnya."
"It's not about money! Mukaku mau ditaruh dimana nanti? Jadwal pernikahan kita udah tersebar di publik!" Tunangan Raka adalah superstar yang sedang naik daun di Indonesia. Citranya sungguh bagus di mata masyarakat. Artis serba bisa dan juga lulusan kampus Ivy League. Jelas Maura nggak akan sanggup menanggung malu jika pernikahannya resmi ditunda.
Raka baru akan membuka mulutnya, tapi ocehan Maura mencegahnya. "Ibu kamu tuh nggak rasional banget! Hari gini masih aja punya pemikiran yang konservatif! Nggak masuk akal nunda pernikahan cuma gara-gara nggak boleh ngelangkahin Kakak! Lagipula, David tuh sepupu kamu, bukan Kakak kandung."
Emosi tiba-tiba merasuki jiwa Raka. Padahal dia adalah pria yang memiliki stok sabar yang besar. Asal satu, jangan macam-macam dengan Ibunya.
"Aku nggak suka kamu merendahkan Ibu," desis Raka dengan tangan terkepal kuat. Sudah satu jam mereka cekcok mengenai topik yang sama. Emosi Raka akhirnya terpancing juga, karena ucapan Maura seakan nggak menghormati Ibunya.
Raka yatim piatu sejak umur 4 tahun, karena peristiwa kecelakaan mobil yang menimpa orangtua kandungnya. Sejak kecil dia dibesarkan oleh Pakde kandungnya, ayah Mas David, yang dia panggil Bapak. Juga Budenya yang dia sebut Ibu. Bagi Raka, Ibu bukan hanya sekedar Ibu kedua, tapi juga malaikat di hidupnya. Nggak ada yang boleh merendahkan Ibu, termasuk calon istrinya sendiri.
Maura menurunkan nada suaranya. "Aku nggak merendahkan. Tapi aku bicara fakta. Ibu kamu nggak masuk akal. Aturan macam apa itu nikah harus sesuai urutan? Bullshit!"
Raka merasakan amarahnya semakin meninggi. Lelaki itu menarik napas panjang, berusaha menggapai kesabaran yang sudah mulai hilang. "Momo, enough. Nanti kita bahas lagi kalau kepala kita sama-sama dingin."
Gelengan kepala Maura disertai nada suaranya yang kembali meningkat. "Nggak bisa! Kamu harus dengerin aku. Ibu itu bukan Ibu kandung kamu! Nggak akan dosa untuk melanggar perintah dia." Perempuan itu menunjuk dada tunangannya hingga terdorong ke belakang.
Bukan perlakuan Momo yang membuat Raka mendidih, tapi penekanan mengenai Ibu yang bukan Ibu kandungnya. Walaupun bukan anak kandung, tapi kasih sayang Raka pada Ibu nggak bisa diragukan. "Momo! Stop! Aku nggak suka kamu nggak sopan sama Ibu."
Mendengar tunangannya yang nggak membela seperti biasanya, amarah Maura jadi semakin membara. Pertahanan dirinya lepas. Perempuan itu teriak kesetanan seperti orang gila. "Dari dulu Ibuuuu aja terus yang kamu bela! Emang kamu pikir aku nggak lelah? Calon istri kamu itu siapa sih? Aku atau Ibu kamu? Ngapain sih kamu nurutin banget permintaan nggak masuk akal dia! Inget Raka, dia bukan Ibu kandung kamu, surga kamu bukan di bawah telapak kaki dia!"
Maura mengguncang bahu Raka kencang. Seperti berusaha menyadarkan Raka dari ketololan. Iya, ketololan untuk menjadikan Maura tunangannya. Topeng Maura seakan terlepas. Begitu nggak sopan pada Ibu. Kini Raka takut membayangkan Maura yang menjadi menantu Ibunya.
Menghela napas lelah, Raka masih berusaha menurunkan volume suaranya. Menekan kuat-kuat amarahnya yang sedang menggelegak. "Stop it! Kita udahan aja ya Mo? Aku nggak sudi punya istri yang nggak menghormati Ibuku."
----
Keesokan harinya, Raka mendapat telepon dari Ibu. Berbeda dengan Mas David yang menetap di Munich, dia memilih untuk tinggal di Indonesia setelah merasa cukup mandiri. Tepatnya tinggal di rumah properti milik keluarganya di Sentul, Bogor.
Baru saja Raka ingin mengabari perihal hubungannya yang baru kandas. Ibu sudah lebih dahulu mengabari bahwa Maura menghubungi Ibu semalam.
"Raka, kamu lagi ada masalah sama Maura? Semalam dia nangis-nangis minta maaf ke Ibu. Ibu juga nggak tau dia dapat nomor telepon Ibu darimana."
Menghembuskan napasnya perlahan, Raka duduk termenung. Maura memang perempuan yang cerdik. Tau kelemahan terbesarnya. Pasti perempuan itu menggunakan Ibu agar bisa baikan dengannya. Karena Raka sudah menutup akses untuk berkomunikasi dengan Maura sejak kemarin.
"Ada sedikit masalah, Bu."
"Kasihan loh Ka. Padahal dia nggak ada salah sama Ibu. Tapi nangis sampai sesenggukan begitu. Ibu jadi khawatir. Segera diselesaikan masalahmu ya, Ka."
Baru saja Raka ingin menyahut. Ibu kembali menimpali.
"Begitulah cobaan pasangan yang akan menikah. Ada saja cekcoknya. Coba kamu turuni ego kamu ya, Sayangnya Ibu."
Mengangguk, Raka tersenyum lemah. "Iya, Bu. Makasih ya Bu."
"Besok jadi ke Jerman? Mampir ke rumah Masmu ya. Titip salam untuk Lily. Kemarin Lily belikan bibit bunga untuk Ibu. Bagus deh, Ka." Lalu percakapan dipenuhi oleh Ibu yang membahas Lily. Tanpa Ibu sebut, Raka meyakini Lily adalah calon mantu kesayangan Ibu. Jauh berbeda dengan Maura.
"Ibu."
"Iya, Raka?"
"Ibu setuju nggak Raka menikah sama Maura?"
Terjeda hening beberapa detik, Ibu menjawab. "Ibu pasti setuju sama semua pilihan anak-anak Ibu. Yang penting Raka bahagia kan?"
Raka membisu. Dulu dia akan menjawabnya dengan yakin, bahwa dia merasa bahagia dengan Maura.
"Kamu bahagia kan, Sayang?" Ibu mengulang pertanyaan yang sama.
Kini Raka kesulitan menjawab.
---
Udah, abis ini updatenya rada lama ya. Belum ada stok wkwkwkwk.
Semoga suka yaa sama cerita baru ini. Sebetulnya inspirasinya dari pembaca IWGLWY yang tiba-tiba ngeship Uwi-Raka 🤣.
Mudah-mudahan bisa suka ya sama Uwi dan Raka yang mungkin karakternya lebih membumi alias lebih mirip manusia pada umumnya (?).
KAMU SEDANG MEMBACA
Memetik Bulan [Completed]
ChickLit* Spin-Off: I Wanna Get Lost With You (Uwi-Raka) Sejak kecil Ruisha selalu bercita-cita memiliki pasangan yang tampan dan kaya. Sampai melewatkan satu doa penting, yaitu memeluk agama yang sama. Sedangkan cita-cita Raka hanya satu, mempunyai keluarg...