19. Ajakan Serius

11.2K 1.6K 392
                                    

Udah hari jumat, yok semangat yook, besok libur kaan. Panjang banget ya inii, pelan-pelan aja bacanya, lama kok abisnya wkwkwk. Selamat membacaa 🧡.

"Jangan Ma. Uwi aja yang nginap di sini. Mama seharian udah capek bolak balik Rumah Sakit sama toko. Istirahatin badan Mama dulu." Uwi melarang Mama menginap di rumah sakit.

"Kamu juga kan capek Kak seharian kerja." Mama nggak tega melihat anak sulungnya belum istirahat dari kemarin.

"Engga kok. 3R lebih butuh Mama daripada Kakak."

Mama berpikir beberapa saat. Teringat Rori dan si kembar yang menunggu di rumah dengan Bi Odah, akhirnya Mama menyerah.

"Yaudah, Mama pulang ya Kak. Papamu juga kayaknya nggak akan bangun sampe pagi. Barusan Papa makan malam terus langsung tidur." Mama membenarkan posisi selimut Papa. Mengecup kening Papa, lalu mengumpulkan barang yang yang akan dibawa pulang.

"Iya. Hati-hati, Ma. Mama bawa motor?"

Mama mengangguk. "Iya, Kak."

"Bawa Pajero aja Ma." Uwi mengangsurkan kunci mobil pada Mama.

"Aduh nanti bisa-bisa lecet kalau dibawa sama Mama. Gausah, Mama pake motor aja," tolak Mama.

"Uwi setirin mau?" Uwi menawari.

"Jangan, Kak. Kasian Papa nggak ada yang jaga. Jam segini pasti masih macet, lebih praktis naik motor. Mama pulang dulu ya Kak. Besok pagi Mama ke sini lagi."

Uwi menyalimi Mama. Kemudian senyuman di wajahnya memudar seiring kepergian Mama. Dia mendesah napas lelah. Pandangannya tertumpu pada sosok Papa yang kehilangan banyak berat badannya dua hari belakangan.

Uwi berjalan menghampiri Papa. Duduk di sebelah ranjang, dia menggamit tangan Papa. Merasakan tekstur yang kasar, hangat, dan terdapat gurat keriput. Meneteskan air mata, Uwi mencium tangan Papa. "Cepet sembuh, Pa."

Uwi masih sulit menerima kenyataan bahwa Papanya akan menjalani hidup dengan kelumpuhan setengah badan. Papanya yang tinggi tegap kini tergeletak nggak berdaya. Uwi menggenggam tangan Papa semakin erat. Jangan tinggalin Uwi, Pa.

Uwi terlonjak karena suara ketukan pintu. Menoleh ke belakang, dia mendapati seseorang yang kehadirannya sangat dia tunggu. Sosoknya maju mendekati Uwi. Semakin mendekat, Uwi merasa dirinya semakin aman. Dia butuh kekuatan.

"Raka," panggil Uwi dengan suara bergetar. Matanya sudah mengalirkan banyak air mata.

Raka terpaku menatap Uwi yang terlihat rapuh. Dia nggak pernah melihat Uwi menangis separah ini. Hati Raka serasa diremas. Sesegera mungkin dia meraih tubuh Uwi yang sedang terduduk di atas kursi. Menjatuhkan badan agar tinggi mereka sejajar, Raka memeluk tubuh Uwi. "Sorry gue baru dateng. Lo bisa nangis lagi sampe puas, Ruisha."

"Rakaaaa...." rintih Uwi. Sesenggukan hebat, Uwi menggigit bibirnya kian kencang. Mencegah suara tangisnya lolos dan membangunkan Papa.

===

"Feel better?" tanya Raka setelah memastikan Uwi minum segelas air.

Uwi mengangguk. Saling berangkulan, Uwi menyenderkan kepala pada bahu Raka.

"Udah makan malam? Gue bawain makanan buat lo."

"Nggak nafsu," jawab Uwi lemas. Untuk menyuapi makanan ke dalam mulutnyapun Uwi nggak sanggup.

"Kapan terakhir lo makan?" Raka menginterogasi.

"Lupa," sahut Uwi jujur.

Memetik Bulan [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang