Sandaran Darah dan Tangis

91 20 69
                                    

Malam yang panjang setelah bunyi rentetan berdarah mengaum di sebuah area gedung kosong. Gadis yang duduk berselonjor memainkan pisau berselimut darah dari berbagai mayat berserakan di lantai dengan berbagai luka sayatan leher maupun tusukan berkali-kali merasa lelah.

Isha menyalakan korek api, memberi sedikit penerangan di gelapnya malam. Diambil kotak rokok dari balik jaket kulitnya, tak lama kebakaran kecil tersulut dari sebatang rokok di mulutnya.

Suara derap kaki bersuara, memecah kosentrasi gadis yang tengah menikmati rokoknya. Sebatang rokok yang masih menyala dia buang, tak lupa dia menggilas rokok itu menggunakan sepatunya. Isha bersiaga dengan pisau lipat di tangannya. Dari balik tembok lusuh yang hampir roboh itu, Isha bersiap menikam lawan yang akan segera datang. Tepat di hitungan ketiga, Isha memamerkan ujung pisaunya di leher pria jangkung yang setengah wajahnya tertutup topi.

Tanpa kenal siapa yang dia hadapi, Isha melancarkan pisaunya ke arah pria jangkung itu. Namun sayangnya, sasarannya meleset dan mengenai jaket pria itu saja. Isha mencoba mengayunkan tendangan lurus, pria itu sempat dibuat mundur beberapa langkah.

"Cukup!"

Keduanya mengalihkan pandangan ke seorang pria yang mencoba menegakan kakinya dengan susah payah, pria berjaket hitam itu hampir sekarat setelah sebuah peluru menerjang perut. Berutung, Isha yang kebetulan melewati gedung kosong mendengar gaduh dan membantu. Setibanya di medan laga, Isha melancarkan aksinya membantu pria yang sudah terkapar tak berdaya itu.

"Di-dia temanku," ujar Arjun hampir ambruk lagi, untung Isha yang berdiri tak jauh sigap mengulurkan tangan.

"Sungguh?"

"Ya."

Pria jangkung membuka topi bergambar simbol api hingga tampaklah keseluruhan wajahnya di bawah sorot rembulan.

"Kau yang telah menolong temanku?"

"Hanya sebuah kebetulan," balas Isha dingin.

Pria jangkung yang belum Isha tahu namanya itu mengulurkan tangan disertai menyebut nama.

"Hritik."

"Bawa temanmu segera, ada peluru di perutnya," kata Isha. Dia sedang malas mengutarakan jati dirinya, untuk nama sekalipun.

"Kau perempuan yang tangguh, aku kagum pada kepiawaianmu dalam bertarung," ujar Hritik disertai senyum tipis.

Alhasil, ucapan Hritik sukses menumbuhkan bunga-bunga di sekeliling Isha yang berhati batu. Gadis itu menggeleng singkat, menepis tegas apa yang tengah gaduh di lubuk hatinya kini. Ini kali pertama, dia mendapat pujian, apalagi pujian itu dari pria setampan Hritik.

Hritik memboyong Arjun yang sudah lemas itu ke punggungnya. Sebelum pergi, Hritik melempar bungkusan kepada Isha. Gadis itu spontan menerima dan membuka cepat.

"Uang?"

Tidak ada niatan untuk Isha mengembalikan uang itu. Bukannya dia ingin pamrih, sama sekali tidak, akan tetapi dia sedang butuh uang untuk biaya pengobatan ibunya yang kini tengah kritis di rumah sakit. Sebelum ini, Isha yang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk menjenguk sang ibu , dia tak sengaja menjemput nasib baik yang diberikan Tuhan padanya, meskipun ada nyawa yang harus dipertahankan.

Isha buru-buru pergi, dia lupa mengucapkan terima kasih kepada Hritik. Tiba di depan gedung, Isha hanya bisa menatap kepergian Jeep Wrangler berwarna hitam itu.

"Mungkin lain waktu." Isha mengambil helm yang jatuh tak jauh dari motornya karena terburu-buru membantu.

Deru mesin motor Isha bergemuruh di tengah kesunyian malam yang semakin mencekik bersama kegelapan. Hanya saja kini, pikiran Isha dipenuhi bayang-bayang Hritik di setiap kedipan matanya. Tanpa sadar, Isha mengulum senyum tipis.

"Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?"

Sangking teralihkan oleh bayangan Hritik yang berterbangan di atas kepalanya. Motor yang dia kendarai hampir menyenggol motor lain.

"Sorry!" pekik Isha ke pengendara yang hampir dia senggol. Dia pun mengencangkan gasnya, menyusuri jalanan yang lenggang tanpa beban.

☆☆☆

Netra Hritik menatap cemas sahabatnya yang tengah terbaring di brankar rumah sakit usai menjalani operasi pengangkatan peluru. Arjun belum sepenuhnya sadar akibat reaksi obat bius.

Jenuh duduk di kursi, dia keluar dari ruangan mencari sarapan, siapa tahu saat Arjun sadar nanti kelaparan. Pintu ditutup sepelan mungkin. Hritik berjalan santai sambil merogoh ponselnya untuk mengabari seseorang tentang keadaannya dan Arjun. Belum sempat dia menelepon, langkah Hritik dibuat terhenti saat melihat gadis yang tengah berlari di koridor rumah sakit, dari yang dia lihat, gadis itu sedang menangis.

"Bukankah dia ...." Hritik menenggelamkan ponselnya di saku jaket dan mengejar gadis yang dia kenal.

Isha bersimpuh di bawah langit dengan tangis tersengal-sengal meratapi kepergian sang ibu untuk selama-lamanya, meskipun biaya pengobatan sudah dia serahkan kepada pihak rumah sakit, tapi tetap saja, uang itu sudah tak ada gunanya, ibunya tetap pergi meninggalkannya. Sekarang, dia sendiri menelusuri jalan hidup yang tak bertepi.

Hritik yang datang di taman belakang rumah sakit dan melihat betapa hancurnya gadis itu tak bisa berbuat apa-apa.

"Kau baik-baik saja?"

Isha mengangkat wajahnya, mengetahui siapa pemilik suara itu, dia cepat-cepat menyeka air mata dan bangkit. Dia tak ingin terlihat lemah, itu akan mematahkan pujian yang dia terima dari pria itu.

"Pergilah!" Isha mengambil jarak beberapa langkah dari Hritik. "Aku tidak ingin diganggu." Meskipun dalam hati, Isha sangat butuh sandaran untuk meletakkan beban hidupnya yang berat.

Hritik benar-benar menuruti permintaan Isha dan pergi. Dia kurang memahami bahasa isyarat perempuan yang sering berlawanan dengan ucapan. Iya berarti tidak, dan tidak berarti iya. Isha mendesah berat melihat Hritik yang malah pergi.

Sayangnya, Isha tidak tahu jika sebenarnya Hritik pergi mencari tahu apa yang sedang gadis itu alami. Saat dia sudah tahu duduk perkaranya, itu akan memudahkannya mencari jalan keluar bagi Isha.

"Kasihan sekali gadis itu, kemarin pihak rumah sakit hampir saja mencabut seluruh perawatan Ibunya, semalam sudah lunas tapi Ibunya malah meninggal," tukas seorang perawat yang melihat nanar Isha.

"Andai saja gadis itu cepat membayar tagihan rumah sakit, pasti Ibunya akan tertolong," jawab perawat lain.

Percakapan itu pun di dengar Hritik yang belum jauh dari dua perawat tadi. Jadi ... dia kehilangan Ibunya?

Hritik kembali ke taman, mengambil posisi duduk di samping Isha yang belum berhenti menitihkan air mata. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, dia menarik kepala Isha dan menyandarkannya ke pundak.

"Kupikir, kau butuh sandaran."

Isha tidak menolak hal itu, kembali dia lanjutkan jutaan air mata yang mengiringi kepergian ibunya.

"Kau tidak ingin menemui Ibumu untuk yang terakhir kali?"

"Dari mana kau tahu soal itu?"

"Aku tak sengaja mendengar percakapan suster."

"Rasanya berat untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak ingin kehilangan Ibuku, dia satu-satunya orang yang kupunya di dunia ini. Dan sekarang, Tuhan bertindak tidak adil, Tuhan mengambil satu-satunya kekuatan dalam hidupku. Setelah ini, aku tidak tahu harus bertahan dengan cara apa."

"Kau ... boleh bersamaku."

Isha menarik kepalanya dari sandaran Hritik. "Maksudmu?"

"Anggap saja ini sebagai balas budi, karena kau sudah membantu temanku semalam."

Gelengan kepala Isha berikan. "Uang yang kau berikan sudah lebih dari cukup. Aku tidak ingin merepotkanmu. Lagi pula, sebelum pergi, Ibuku memberikan sebuah perintah yang harus kutunaikan."

"Baiklah. Aku tidak akan memaksa, aku hanya bisa berdoa untuk kebaikanmu."

Mereka saling melempar senyum kecil. Isha menghapus pipinya yang basah. Dia berdiri.

"Terima kasih untuk kebaikanmu. Permisi."

☆☆☆

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang