Isha memperbesar lubang cermin untuk memberinya jalan masuk. Ruangan dengan pencahayaan minim itu Isha jelajahi. Di sana, terdapat papan besar yang menempel tembok, ada foto anggota keluarga Askandar dan Pramana, tentu saja ada foto Isha juga. Dari semua foto itu, baru foto Karan saja yang disilang. Isha menggebrak meja di sampingnya.
Rahang Isha mengeras. “Ini tidak mungkin, bukankah saat Ayah terbunuh Hritik bersamaku? Atau, dia punya tangan kanan?”
Isha mengambil foto ayahnya. “Kenapa dia juga menargetkan keluargaku? Arjun bilang target mereka hanya keluarga Askandar.” Dia berjalan ke depan komputer yang mati. Isha menghidupkan komputer itu, mengecek file-file yang tersimpan. Ada banyak sekali file, bisa ribuan file di sana, dan Isha bingung file mana yang harus di buka karena Hritik tidak menamai setiap folder.
Dia mengetik sembarangan di kolom pencarian, dia menggunakan namanya. Dan ya! Ada satu berkas yang Hritik simpan untuknya. Isha membuka dokumen itu, tidak ada yang penting, hanya foto-foto yang sama dengan di lemari tadi. Isha mengambil kata kunci lain, Askanadar. Tidak ada file yang dia cari.
“Hritik! Kau membuatku kesal! Kau benar-benar psikopat gila! Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku? Aku bisa saja bertanya padamu, tapi itu tidak mungkin, itu hanya akan membangkitkan iblis di dalam dirimu. Aku tidak ingin kau mengingat masa lalumu, tapi aku sungguh ingin tahu apa yang telah kau lalui.” Isha dibuat pening. Dia menyadarkan punggung di sebuah kursi besi, melipat tangan di meja.
“Apa yang menghubungkan dendammu pada keluargaku? Keluarga Askandar memang target misimu, tapi keluargaku?” Setiap inci kepala Isha dibumbui tanda tanya. Wajahnya yang lelah dia usap mengagumkan kedua telapak tangan. Isha terhenyak beberapa menit, menenangkan beban-beban baru di otaknya.
Dering telepon mengagetkan Isha. Dia mengangkat telepon dari suaminya.
“Ya, halo?”
“...”
“Oke. Waalaikumsalam. Ada apa?” tanya Isha bernada kesal.
“...”
“Aku hanya sedikit lelah. Oke, baiklah. Memangnya kenapa aku tidak langsung pulang ke rumah?” Isha melirik tangan kirinya yang terdapat jam tangan kecil. Baru jam 5.
“...”
Bola matanya membesar saat mendengar penjelasan Hritik.
“Diserang? Siapa yang menyerang rumah?” Isha menunggu jawaban sebentar. “Tapi tidak ada yang terluka, kan?”
Di tempatnya sana, Hritik menjawab yang tentu membuat Isha cemas bukan main.
“Baiklah, kalau begitu aku pulang sekarang, kirim saja alamatnya. Hem, ya. Waalaikumsalam.”
Rumah diserang, apa ini bagian dari rencana Hritik sebelum dia kecelakaan? Tapi, apa untungnya dia mencelakai dirinya sendiri dengan menyuruh orang-orang menyerang rumah, serangan dia ada di dalam rumah itu. Lama-lama kepalaku bisa meledak memikirkan teka-teki ini.
Ponselnya mati. Isha yang melihat stop kontak di bawah meja segera mengisi daya baterai sebentar saat dirinya beristirahat.
Isha menutup mata, mendengus berat. Samar-samar, indra pendengarnya menangkap derap kaki tengah berjalan di luar ruangan itu, dia cepat-cepat menyembunyikan diri di tempat yang tidak terkena cahaya. Napas Isha naik turun saat kaki seorang pria bermasker hitam masuk melalui cermin yang tadi dia pecahkan, perlahan, seorang pria itu terlihat juga wajah dan tubuhnya. Isha menahan nafasnya, dia tidak tahu pria itu lawan atau kawan. Pria dengan jaket menjuntai hingga lutut itu berkeliling ruangan, lalu duduk di kursi depan komputer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fikar Not [END]
Mystery / Thriller[Juara 1 Genre Thriller Writing Marathon Jet Media] Thriller - Romansa - Religi UPDATE SETIAP HARI ☆☆ Hritik Narayan, seorang pembunuh bayaran yang terjebak dalam cinta dengan gadis pemberani, Isha Arablla. Cinta Hritik Narayan mengantarkannya ke s...