Pergi Bersama Hati yang Lain

24 8 17
                                    

Suara pintu diketuk terdengar, Alam yang baru saja ingin tidur menyibak kembali selimutnya.  Ternyata Isha yang datang membawa makan malam untuk suaminya itu.

“Ibumu yang menyuruh.” Isha menyerahkan nampan yang di atasnya ada makanan dan minum. Setelah Alam menerimanya, Isha beranjak naik ke tempat tidur, duduk bersandar sambil menonton TV. “Ternyata, kau itu anak manja, ya? Pantas, kau tidak bisa lepas dari kedua orang tuamu. Aku pikir, setelah menikah, kau akan menghadiahiku rumah.” Isha mengoceh saja.

“Kenapa kau malah diam saja di situ? Sini.” Isha menepuk-nepuk kasur di sampingnya .

Alam menutup pintu, duduk seperti yang Isha minta.

“Kenapa aku disuruh makan terus?” tanya Alam yang sudah duduk.

“Kenapa kau tanya padaku, tanya saja pada Ibumu. Aku hanya disuruh memberikan makanan itu untukmu.”

“Ta-tapi, Isha. Aku sudah kenyang, baru tiga jam yang lalu Ibuku memberikan aku makanan, sekarang lagi. Kau bisa membantuku menghabiskan makanan ini?”

Isha mengganti channel siaran bola, lalu melihat sekilas makanan yang ada di atas nampan.

“Kata Ibumu lagi, kau sangat suka ayam bakar, lantas, mengapa kau menolak makanan kesukaanmu itu?”

“A-aku hanya kenyang saja. Ini, makanlah.” Alam memberikan nampan itu pada Isha. Dengan senang hati Isha menerimanya, karena sejak membawa nampan itu ke kamar, air liurnya sudah tak menjadi-jadi melihat ayam bakar.

Thank's.” Kemudian, dia melahap makanan itu ditemani riuh pertandingan bola.

Di sela makan. “O iya, tadi Ibumu bertanya. Kenapa kau tidak ikut salat berjamaah bersama Ayahmu? Tadi, aku melihatmu keluar kamar, lalu kau kemana jika tidak ke masjid?”

Wajah Alam sedikit tegang. “Aku salat di masjid sebelah.”

“Masjid sebelah? Yang jaraknya agak jauh itu?”

“I-iya.”

“Sendirian?”

“I-iya.”

“Kau tak takut pergi sendiri, kau kan anak Ibu.”

“U-untuk apa takut. Aku, kan, sudah besar, lagipula, aku sudah menjadi kepala rumah tangga, aku tidak boleh lemah. Benar, kan?”

Isha tidak bisa menjawab, dia hanya mengangguk karena mulutnya penuh. Merasa makanannya menyangkut di leher, Isha mengambil minum dan meneguknya pelan.

“O iya, besok aku akan berkunjung ke panti asuhan. Kau mau ikut?”

“Panti asuhan?”

“Iya. Jangan berlagak lupa, aku sudah pernah bilang soal panti asuhan sebelum ini, kan?”

“Oh, itu. Tidak, aku tidak lupa. Memangnya, kau ke sana mau apa, Isha?”

“Hanya berkunjung saja, sepertinya  aku merindukan anak-anak panti.”

Alam tiba-tiba bersin dan berdeham. “Em, sepertinya aku kurang enak badan. Maaf, aku tidak bisa menemanimu, Isha. Tapi ... aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri.”

“Kau sakit?” Isha memegang kening Alam yang sedikit panas. “Iya, kau sedikit demam. Lebih baik kau tidur saja. Atau, mau kuambilkan obat?”

Alam menggeleng. “A-aku mau tidur saja, siapa tahu, besok bangun aku sudah sembuh lagi.”

“Ya sudah. Tidurlah, aku akan menghabiskan makanan dulu.”

☆☆☆

“Alam demam?” tanya Susan mencemaskan keadaan putranya. “Pasti dia masih lelah karena pesta kemarin lusa.”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang