Setitik Titik Terang

16 6 8
                                    

Ruhan menelpon cepat orang rumah untuk menjemput mereka yang terlantar di tepi jalan. Mobil tak lama datang, membawa Hritik pulang dalam keadaan linglung memikirkan apa yang telah dia perbuat pada orang-orang yang menyerangnya. Pertanyaan demi pertanyaan menjamur di otak Hritik. Diiringi hujan yang turun tipis, Hritik menelepon istrinya, entah kenapa dia merasa rindu mendengar suara Isha.

“Halo, Alam.”

“Kau dimana? Ada di rumah, kan?”

“Astaga, aku lupa mengabari kalau aku keluar sebentar karena ada yang harus aku urus. Petang aku sampai di rumah, atau, kau mau aku pulang sekarang?”

“Iya, pulang sekarang. Aku membutuhkanmu, Isha,” ujar Hritik bernada lemas.

“Ada apa, Alam? Kau sakit atau ada masalah?” Tampak dari bicaranya saja Isha cemas.

“Aku tunggu kau di rumah.”

“Baiklah, aku pulang sekarang.”

Hritik menyimpan ponselnya di saku jas. Dia menelisik ke luar jendela yang semakin deras dihasi hujan. Ruhan menoleh singkat, dia tidak jua menyudahi herannya akan apa yang telah terjadi, semua seakan sulit dipercayai.

Tiba di rumah, Hritik langsung ke kamarnya, dia merasa sangat lelah, Susan yang berniat menyambut pun diabaikan olehnya.

“Apa yang terjadi?” tanya Susan pada Ruhan yang membawa barang belanjaan bosnya. “Dan, untuk apa barang-barang sebanyak ini?”

“Kata Pak Alam, besok Ibu Isha ulang tahun, Nyonya. Ini semua hadiah untuk Ibu Isha. Karena Pak Alam bingung ingin memberi kado apa, jadi Pak Alam membeli semua ini untuk Ibu Isha.”

Susan menampakan senyum girang akan keromantisan yang putranya tunjukan pada Isha. “Taruh saja semuanya di meja, kau boleh pergi, Ruhan.”

Setelah menaruh belanjaan Hritik, Ruhan pamit pergi.

Susan hendak mencari tahu apa yang sudah terjadi pada putranya. Namun, saat dia ingin membuka pintu, Hritik menguncinya. Susan rasa, putranya sedang tidak ingin diganggu. Dia pun turun ke lantai bawah, saat itu juga, menantunya pulang dengan langkah tergesa-gesa.

“Isha, kau sudah pulang?” tanya Susan saat keduanya bertemu di sebuah anak tangga.

“Aku pulang cepat setelah ditelpon Alam, apa dia sakit?”

“Entahlah, Nak. Alam pulang dan langsung mengunci diri di kamar, Ibu sangat mencemaskan dia.”

“Ibu tenang saja, aku akan berbicara dengan Alam.”

“Kalau begitu, Ibu ke pergi dulu.”

Isha mengangguk dan ke kamarnya. Dia mengetuk pintu tiga kali.

“Alam, buka pintunya!”

Pintu terbuka, tanpa aba-aba, Hritik menarik Isha dalam peluknya, dia menangis. Menangisi  kebengisan yang dia lakukan tanpa sadar, Hritik merasa sangat bersalah telah menghabisi orang-orang tadi dengan tangannya sendiri.

“Hei, kau kenapa?” Isha menarik Hritik ke dalam kamar, tak lupa menutup pintu.

Isha duduk di tepi tempat tidur, Hritik ikut duduk, lalu meletakkan kepalanya di paha istrinya. Dia masih lelah memikirkan setiap detail dirinya mencabut nyawa satu persatu orang yang tidak dia kenal.

“Apa ada masalah, Alam?”

Hritik menggeleng.

“Lalu kenapa kau seperti ini?”

Hritik mengangkat kepalanya dan bertanya. “Apa sebelum kecelakaan, aku orang yang jahat, Isha?”

“Jahat? Ti-tidak, kau laki-laki baik dan terbaik yang pernah aku temui.” Isha menyeka air mata di wajah suaminya, kemudian merengkuhnya. “Kenapa kau bertanya seperti itu?”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang