Serangan Mendadak

8 4 7
                                    

Suasana dapur tampak hidup, sejak keduanya memulai pertempuran dengan berbagai macam bahan membuat kue, Hritik yang dibantu asisten pribadinya, Ruhan, tak berhenti dibuat pusing memikirkan agar kue ulang tahun buatan mereka terlihat sempurna. Sayangnya, ketika Ruhan mengintip dari luar kaca oven, dia tidak melihat adonan kue di dalam sana mengembang.

“Pak, sepertinya ada yang salah dari kue ini.”

Hritik berjongkok. “Salah bagaimana?” Dia ikut mengamati kue bantet tersebut.

“Kuenya tidak mengembang, Pak. Apa tadi Anda sudah menaruh pengembang?”

“A-aku tidak tahu, aku hanya menaruh bahan-bahannya saja, mungkin saja aku lupa.”

Dua pria yang mengenakan apron hitam dan cokelat itu pasrah melihat hasil kerja keras mereka sejak pagi.

Ruhan menegakkan punggungnya, saat itu juga, seorang pria bertopeng mengacungkan pistol ke arahnya. Ruhan mengangkat satu tangan ke atas. Tangan satunya berusaha mencapai pundak Hritik.

“P-Pak.”

Alis Hritik terangkat, bertanya mengapa Ruhan terlihat begitu ketakutan. Hritik mengelap tangannya yang terkena tepung ke apron sebentar, lalu mengikuti jejak Ruhan.

Deru kaca pecah dan teriakan memekik di luar sana. Kegaduhan pun merambah ke dapur saat peluru di lesatkan, refleks, Hritik mendorong tubuh Ruhan ke lantai sebelum mengamankan dirinya. Bunyi serdadu peluru membombardir dapur, Hritik melirik teflon dan menjangkaunya dalam persekian detik. Hritik melompati islands table yang ada di tengah dapur sembari menampar kepala pria bertopeng menggunakan taflon. Pria itu terhuyung, Hritik bergerak mematahkan pergelangan tangan pria itu dalam satu gerakan. Dia merebut pistol dari tangannya dan balik menembak dengan beberapa kali tembakan.

“Ruhan! Cari tempat perlindungan!” Titah Hritik pada Ruhan yang bergidik ngeri. Pria culun, namun berotak encer itu buru-buru mencari tempat aman untuk bersembunyi.

“Jika ada yang menyerangmu, lawanlah, aku tidak ingin kau kalah.”

Hritik tak menjatuhkan pistolnya, dia harus menang untuk melindungi semua orang yang ada di rumah itu. Terutama.

“Ibu.” Hritik berlari tergesa-gesa ke kamar Ibunya.

Ketika melewati ruang tengah yang sudah berantakan, Hritik dihadapkan dengan tiga pria bersenjata api. Hritik menunduk di balik meja untuk menghindari timah panas. Sesekali, Hritik menaikkan kepala sambil melepaskan serangan balik. Dua lawan berhasil dilumpuhkan, tinggal satu pria bertopeng yang belum tumbang. Sialnya, peluru di pistol itu habis. Hritik membuang sembarangan pistol tersebut. Hritik maju, melawan dengan tangan kosong. 

Hritik menyerang mundur pria itu dengan tendangan memutar setelah menerjang kepala pria  itu menggunakan kursi.  Hritik mengunci tangan pria itu ke belakang, mematahkan persendiannya diiringi ringisan. Tak puas, Hritik mengambil pistolnya dan langsung menembaki kepala pria itu. Membawa pistol baru, Hritik menghampiri kamar Ibunya, memastikan bahwa Ibunya baik-baik saja.

Susan yang mendapat luka tusuk di punggung terkapar lemas di kamarnya, pria bertopeng sama menyeret kaki wanita itu hendak dia buang ke lantai satu. Hritik datang di waktu yang tepat, dia menendang punggung pria itu. Lekas, pria itu melawan, menyerang Hritik dengan pukulan beruntun, Hritik menangkis cepat dan langsung memukul rahang pria itu. Tidak juga menyerah, Hritik menarik kepala pria itu dan membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Pria itu memberontak, timah panas pun Hritik hadiahkan tepat ke jantungnya.

Wanita yang setengah sadar itu dipaksa menutup mata melihat apa yang dilakukan putranya. Susan pingsan di tempat kehabisan tenaga.

“Ibu.” Hritik menghampiri Susan, menggendong Ibunya dari lantai marmer putih yang kini ternoda darah.

Saat Hritik hendak membawa Ibunya ke rumah sakit. Harun yang di belakangnya dikawal bodyguard berjalan memasuki rumah tergesa-gesa. Di kantor, Harun mendapat telepon ancaman dengan menampilkan gambar rumahnya, tanpa membuang waktu, Harun bergegas pulang.

“Ayah.”

Harun melihat putranya tengah turun tangga sambil menggendong istrinya. Dia buru-buru mendekat saat Hritik sudah sampai di bawah.

“Astaga, Susan.” Harun meminta pengawalnya segera menyiapkan mobil.

“Apa yang terjadi pada Ibumu, Alam?” tanya Harun berjalan di samping Hritik yang membawa Ibunya.

“Seseorang menusuk punggung Ibu. Rumah ini  tadinya sangat kacau saat orang-orang bertopeng menyerang, aku tidak tahu siapa mereka,” balas Hritik.

Hritik meletakkan tubuh Ibunya pelan-pelan di bangku belakang. Dia hendak ikut mengantar Ibunya ke rumah sakit, tapi Harun meminta pada putranya itu agar tidak keluar rumah terlebih dahulu, dia akan mencarikan tempat aman untuk Hritik.

“Tapi, Ayah ....”

“Percaya pada Ayah, Ibumu akan baik-baik saja.”

Hritik mengalah, dia tidak ikut mengantar. Dia membiarkan rombongan mobil itu membawa Ibunya menuju rumah sakit. Dia berbalik, menatap keadaan rumah itu yang kacau balau.

Laki-laki berkacamata yang baru keluar dari tempat persembunyiannya itu menghampirinya.

“Pergilah, Ruhan.”

“Pak, sebaiknya Anda juga pergi dari rumah ini untuk sementara waktu sampai situasinya aman. Saya akan tetap di sini jika Anda tidak pergi.”

Hritik tidak menanggapi, dia berjalan ke dalam rumah yang dihiasi mayat-mayat di berbagai sudut. Pistol Hritik masih berjaga-jaga, siapa tahu ada musuh yang belum keluar dari sarangnya. Sementara itu, Ruhan bersembunyi di balik punggung Hritik.

“Sepertinya sudah aman, Pak,” kata Ruhan.

Hritik menurunkan pistolnya. Dia bernapas lega.

☆☆☆

Ketika pintu menganga, Isha masuk ke ruangan yang sedikit berdebu karena sudah lama ditinggalkan penghuninya. Melalui kunci cadangan dari pemilik rumah itu, Isha berada di sini sekarang, di rumah yang dulu dihuni Hritik. Rumah dengan dua lantai itu nampak tenang saja dari luar, tapi ketika Isha berkeliling, rumah itu menyimpan segudang teka-teki. Dia naik ke atas, kata Arjun, kamar Hritik ada di lantai dua.

Sayangnya, kamar itu terkunci. Itu tidak memberatkan kaki baja Isha mendobrak masuk pintu dengan mudahnya. Jila dilihat sekilas, kamar itu seperti kamar yang normal, terdiri dari satu set tempat tidur, meja kecil, cermin besar yang menempel di dinding, dan sebuah lemari, terkesan tak ada yang mencurigakan.

Isha mendekati lemari pakaian, membukanya pelan, takut sebelum Hritik telah merakit bom di dalamnya. Tidak ada bom, yang ada hanyalah deretan foto-foto Isha yang bahkan Isha sendiri tidak tahu kapan laki-laki itu mengambilnya. Di salah satu foto tersebut, Hritik melingkari wajah Isha dengan simbol hati. Bibir Isha tertarik sedikit mengetahui kelakuan suaminya.

Beralih ke tujuan utamanya kemari, dia menggeledah seisi kamar Hritik. Nihil, Isha tidak mendapat petunjuk apa-apa. Lelah mencari, dia duduk bersandar ranjang menghadap cermin besar. Isha memperhatikan cermin besar itu. Bukan pantulan dirinya yang dia perhatikan, tapi tata letak cermin itu yang menurutnya aneh, menyatu dengan dinding. Isha melihatnya seperti sebuah jendela yang disamarkan menjadi cermin.

Isha mengetuk-ngetuk cermin tersebut seraya menempelkan telinganya.

Netra gadis itu berkeliling, mencari sesuatu untuk membantunya memecahkan cermin tersebut. Meja di samping tempat tidur Isha ambil. Benar saja, ketika cermin itu sudah berlubang karena amukan meja darinya, sebuah ruangan rahasia dia temukan.

“Kau terlalu meremehkan istrimu, Hritik.”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang