Memori Kembali

14 4 7
                                    

Mereka bersitatap cukup lama. Apa Hritik sudah ingat? Satu pertanyaan sama terulang-ulang di benak Isha.

“Isha, apa sebelumnya aku pernah kemari?”

Isha melepas tangan Hritik yang ada di pundaknya, dia pergi menjauh dan duduk di ayunan. Hritik merasa aneh akan sikap istrinya itu. Dia pun menyusul, duduk di ayunan sebelah Isha.

“Kenapa kau terlihat ketakutan saat aku bertanya tadi?” Hritik memegang bahu Isha. “Jawab aku, Isha!”

Napas Isha kian memburu. Pikirannya kembali kacau.

“Tinggalkan aku sendiri.”

“Tidak, Isha. Aku akan di sini sampai kau menjawab pertanyaanku.”

Isha berdiri, menujuk pintu masuk. “Aku bilang pergi, aku ingin sendiri! Mengertilah!” pekik Isha.

Hampir saja emosi Hritik terpancing, kepalan tangannya siap menubruk apapun yang ada di depannya, tapi Hritik halangi dengan istighfar.

“Baiklah, aku masuk. Jika ada apa-apa, kau bisa masuk ke dalam.”

Isha tidak mengangguk atau menggeleng. Dia membiarkan Hritik pergi. Setelah lama tak menangis, kali ini Isha menangis sejadi-jadinya merasakan masalah yang berdatangan menghantui malamnya. Isha selalu dibayangi ketakutan yang mendalam pada suaminya. Isha tidak ingin Hritik membunuh satu pun orang lagi, termasuk Ayah dan Ibu mertuanya. Ditambah, kecurigaan Isha tentang dalang kematian Ayahnya yang ditujukan kepada Hritik masih membekas menjadi dendam yang terendam cinta.

“Apa yang harus kuperbuat, Hritik. Aku bingung, aku sungguh bingung. Bingung kepada diriku sendiri.” Isha memukul kepalanya sendiri. “Mengapa cinta membuatku selemah ini? Sebelumya, aku tidak begini.”

Di dalam, setelah tempat dan sajian telah tersedia. Vidya yang baru keluar dari dapur membawa minuman kaget melihat pria yang masuk dari pintu utama.

“Kak Hritik? Kakak ada di sini juga?”

Sontak, bukan hanya Vidya yang terkejut, tetapi juga Hritik.

“Hritik?”

“Iya, kau Kak Hritik, kan? Yang waktu itu datang kemari bersama Kak Isha saat merayakan kelulusanku.”

Hritik semakin bingung. Tadi Isha memanggilnya Hritik, sekarang Vidya.

“Maaf. Aku bukan Hritik. Aku Alam Askandar, suami Isha.”

“Suami? Kak Isha sudah menikah? Kenapa aku tidak tahu.” Vidya memperhatikan saksama, dia tidak mungkin salah orang. “Kak Alam, tapi waktu itu ....”

“Kau kenal dengan orang bernama Hritik itu? Maaf, siapa namamu?”

“Vidya. Ya, aku tahu Kak Hritik. Tapi aku tidak begitu mengenalnya. Kau tahu Kak Alam, Kak Hritik itu sangat-sangat mirip denganmu. Seperti yang pernah aku bilang, Kak Isha pernah membawanya kemari.”

Satu pertanyaan akhirnya terjawab. Pantas bila beberapa kali Isha salah memanggil, rupanya dia memiliki wajah serupa dengan Hritik-Hritik itu.

“Apa mereka dekat?”

Vidya menyungging senyum simpul. “Maaf, Kak Alam. Jika boleh jujur, kupikir saat itu Kak Isha dan Kak Hritik sepasang kekasih.”

Jawaban itu tentu saja menusuk perasaan Hritik. Tapi dia mengabaikan hal itu, toh, sekarang dia yang menjadi pemenangnya.

“Baiklah, kalau begitu aku ke ruang tamu dulu, Kak Alam.”

“Ya, silakan.”

Dari cela gorden yang disingkap, Hritik memandang punggung Isha. Gadis itu masih di posisi yang sama seperti tadi.

Hritik. Apa selama ini diam-diam kau merindukan pria itu, Isha? Aku tak paham.

Karena tak kunjung hadir di ruang tamu, Susan menghampiri putranya yang berdiri di depan jendela.

“Kenapa kau ada di sini, Alam?” Susan mencari-cari keberadaan Isha. “Di mana, Isha?”

Hritik menunjuk jendela. “Ada sedikit masalah, Ibu. Sepertinya, Isha marah padaku. Dia ingin sendiri.”

“Ya sudah, kau awasi saja dari sini, perasaan perempuan hamil itu memang bisa berubah-ubah, kau harus sabar menghadapinya.”

“Iya, Ibu.”

“Biarkan Ibu dan Ayah yang mengurusi syukurannya. Kau di sini saja.”

Seperti yang diminta Ibunya, Hritik tetap setia mengawasi Isha yang terduduk diam di ayunan. Tidak sengaja, Hritik menatap lekat pintu kamar yang ada di lantai dua, sekilas dia melihat dirinya sendiri naik ke lantai dua itu dan masuk ke kamar. Lekas, dia menginjakkan kaki ke tangga, menelusuri setiap langkahnya yang sama. Sayup-sayup, Hritik seperti mendengar tawa Isha dan anak-anak panti yang tengah mempersiapkan diri untuk menyambut kepulangan Vidya, tetapi, itu adalah bagian memorinya. Di sini Hritik sekarang, persis di depan pintu kamar Isha. Hritik memutar gagang pintu dan muncul ruangan yang nampak seperti kamar laki-laki. Ada poster Akshay Kumar berukuran lumayan besar di dinding.

Hritik kembali melihat dirinya sendiri di kamar itu sedang mencari sesuatu, menggeledah meja kecil di samping tempat tidur. Di situ, Hritik melihat dirinya sendiri menemukan sebuah buku harian dan membacanya sembari duduk di tepi kasur. Mendadak, kepala Hritik pusing sampai-sampai dia harus berpegangan dinding.

“Ada apa ini? Kenapa aku melihat diriku sendiri, aww.” Hritik memegangi kepalanya.

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang