Drama Dimulai!

19 6 8
                                    

“Cinta? Cinta apa yang kau bicarakan? Cinta mereka hanyalah sampah yang harus dibuang, cinta apa seperti itu? Cinta yang menumbalkan orang tak bersalah, iya, itu cinta, Hritik? Cinta seharusnya membuat duka menjadi suka, bukan sebaliknya, apa yang mereka lakukan hanyalah menodai kesucian cinta.”

“Lalu kau sendiri?”

“Kau memiliki suami, tapi mengapa kau masih mencintaiku? Bukankah, kau juga menodai kesucian cinta?”

“Kau mau aku menyudahi cintaku? Oke, aku akan menganggapmu tak pernah ada di hidupku. Apa untungnya aku mencintaimu, mencintaimu yang tak pernah mau dipihakku hanya akan melemahkanku. Aku tidak akan menemuimu lagi. Dan maaf Tuan Hritik Narayan, selama kita bersama banyak kesalahan yang aku lakukan.”

Dialog-dialog itu terus membayangi Isha yang mondar-mandir di ruang IGD. Isha menarik-narik rambutnya frustasi. Dia tidak ingin kehilangan lagi orang yang dia cintai. Rasanya getir mencoba berdiri tegak di hadapan rasa sedih yang datang hampir bersamaan. Air mata yang membeku seketikanya mencair juga. Isha terduduk lemas di kursi tunggu, membiarkan tubuhnya miring perlahan dan terjatuh ke bangku kursi.  Tepat saat itu pula, Ibunya memangku kepalanya yang sudah sangat berat memikul rasa pedih.

Widuri mengusap rintik air mata di wajah Isha.

“Menangislah, Isha. Kau tidak perlu memaksa diri untuk menjadi kuat demi cintamu.”

“Ibu.” Isha bangkit, memeluk angin yang telah menghilang dari edaran matanya. “I-Ibu ....” Isha melihat sekeliling, hanya sepi yang tak usai menemani. Ternyata, itu hanya ilusi alam bawah sadar Isha yang tak sengaja tertidur.

Isha menghapus jejak air matanya. Melirik jarum di jam tangan, sudah setengah jam sejak Hritik diberikan tindakan medis. Isha ke depan pintu, berharap ada kabar baik yang akan segera dia dapat. Hati Isha sungguh gelisah.

“Isha, bagaimana keadaan, Alam?”

Sontak, Isha menoleh ke sumber suara yang begitu mengejutkan dirinya. Kedua orang tua Alam datang tak kalah membawa raut cemas setelah mengetahui kabar kecelakaan yang beredar di media sosial, dari situlah mereka melihat salah satu postingan yang menampilkan sosok korban di balik kecelakaan itu.

Susan mengguncang tubuh Isha. “Bagaimana bisa Alam kecelakaan, Isha?”

“A-Alam? Bu-bukankah Alam ada di rumah?”

Susan balik menatap suaminya heran.

“Alam tidak ada di rumah sejak kemarin, dia mengunci pintu kamarnya. Karena sampai malam dia tidak kunjung membuka pintu, kami terpaksa mendobrak pintunya. Tapi, Alam pergi tidak tahu kemana, Isha,” tukas Harun semakin membuat Isha menemukan satu titik terang Hritik.

“Tapi, Ayah, Ibu.” Isha memandangi keduanya bergantian. “Orang yang mengalami kecelakaan itu bukan Alam, tapi Hritik.”

“Kau ini bicara apa, Isha? Kami jelas-jelas melihat di postingan itu seorang Alam, putra kami, suamimu.”

Bagaimana caranya Isha menjelaskan agar keduanya percaya.

“Aku bersumpah, itu bukan Alam, tapi Hritik,” desak Isha.

“Nak, tidak mungkin Alam bisa berada di satu waktu yang sama di dunia ini. Alam, putra kami hanya ada satu,” ujar Harun.

Otak Isha mulai menyusun puzzle yang selama ini masih belum menemukan gambaran yang jelas.

Tunggu. Jika memang, Alam tidak ada, dan yang ada hanyalah Hritik. Itu artinya. Jangan-jangan Hritik melakukan sabotase saat pernikahanku dimulai, dan dia mengganti posisi Alam untuk menikah denganku? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya Hritik lakukan di belakangku? Lalu, apa tujuannya, apa hanya ingin menikah denganku atau dia punya tujuan lain? Dan ... di mana Alam, mengapa dia menghilang di telan bumi.

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang