Jodoh dalam Perjodohan

32 12 30
                                    

Karan dibuat geleng-geleng mengetahui putrinya tengah menikmati sebatang rokok di teras kamar.

“Kau merokok?”

Gadis itu mengangguk santai, menyodorkan sebungkus rokok ke ayahnya. Karan menggeleng.

“Sebutkan satu hal yang membuatmu berhenti merokok.”

Isha mengangkat muka. “Uang.”

Karan merogoh dompetnya, dikeluarkan satu lembar seratus ribu. “Ini untuk satu hari.”

Isha memandang remeh uang yang diberikan Karan. “Seratus ribu? Bahkan di jalanan aku bisa mendapatkan lebih dari hasil memalak orang.”

“Me-memalak?”

“Oh bukan hanya memalak. Tapi juga merampok, merampas, dan membunuh.”

“I-Isha. Kau tidak sedang bercanda, kan, Putriku?”

“Sejak keluar dari rumah ini, aku hidup di jalanan yang kejam Ayahku sayang. Itu sudah hal yang biasa.”

Astagfirullah. Kenapa kau melakukan hal itu, Nak? Itu dosa.”

“Memangnya Ayah tak punya dosa?” Kalimat itu menusuk tajam dada Karan.

“Ya. Ayah juga memiliki dosa, semua manusia tidak luput dari dosa. Tapi, Nak. Kau perempuan, kenapa kau bisa melakukan hal itu?”

“Memangnya kenapa kalau aku perempuan? Aku akan membunuh jika dalam keadaan mendesak.”

“Ya sudah.” Karan menarik lima lembar seratus ribu dari dalam dompet. “Ambil uang ini. Berhentilah merokok hari ini, besok Ayah akan memberimu uang lagi.”

Isha berhormat. “Siap, laksanakan!”

Karan hendak berangkat kerja, tapi ditahan oleh tangan Isha.

“Masih kurang?”

“Aku sayang, Ayah.”

“Ayah juga sangat menyayangimu.” Dikecup pucuk kepala Isha sebelum pergi. “Assalamualaikum.”

“Hem.”

Memastikan bahwa ayahnya sudah pergi kantor. Ini waktu untuk Isha memberi pelajaran kepada dua penjaga rumah yang kemarin menghalanginya masuk rumah.

Isha bergegas ke pos penjagaan menemui keduanya yang selesai menutup gerbang.

“Non.” Sapa keduanya ramah.

“Aku sudah berjanji akan memberikan kalian pelajaran.”

“Pe-pelajaran? Aduh, Non. Sudahlah, kami mengaku salah, kami minta maaf. Pelajarannya ditiadakan saja, ya?”

“Eh, enak saja. Aku sudah terlanjur marah pada kalian berdua.”

Penjaga satunya terlihat pasrah, meminta temannya untuk ikut saja permainan Isha.

“Baiklah, Non. Kami siap menerima apapun perintah, Non Isha.”

“Mudah. Kalian tinggal membantuku mengecat kamar.”

“Mengecat?”

“Jangan banyak tanya, kalian beli cat warna abu-abu dan orange.” Isha menunjukkan inspirasi kamar di galeri kamarnya.  “Aku ingin kamarku seperti ini.”

“Tapi ....”

“Tidak ada tapi-tapian. Cepat kerjakan!”

“Baik, Non.”

“Tunggu.” Isha memberikan uang lima ratus ribu itu kepada keduanya. “Jika kurang, bilang saja ke Bibi Lidya.”

“Baik, Non.”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang