Secuil De Javu

11 4 4
                                    

Tiga mobil beriringan memasukki pelataran rumah. Dari plat nomornya, Isha dan Hritik sudah tahu siapa yang bertamu ke rumah mereka. Calon kakek dan nenek.

Usai mengucap salam, Harun dan Susan menghampiri keduanya yang duduk-duduk santai di taman depan.

“Bagaimana kondisimu, Nak?”

“Baik, Ibu. Ibu sendiri?”

“Jauh lebih baik.”

Hritik mempersilakan kedua orang tuanya duduk.

“Hritik, Ayah dan Ibu merundingkan bagaimana kalau kita membuat acara syukuran kehamilan Isha di panti asuhan.” Harun menawari.

Hritik mengangguk mantap. “Panti asuhan?”

“Iya, panti asuhan milik Isha,” balas Susan.

“Isha punya panti asuhan?”

Sejurus, pertanyaan Hritik mengundang tanya, terutama bagi Harun dan Susan. Bukankah putranya itu sudah tahu kalau Isha punya panti asuhan?

“Iya, memangnya kau lupa?” tanya Susan.

Isha yang panik lekas menimbrung. “Ibu, putra Ibu ini ‘kan lupa ingatan, mana dia ingat kejadian-kejadian sebelumnya?”

“O, iya. Ibu lupa.”

“Baiklah, kita berangkat sekarang.”

“Sekarang, Ayah? Isha belum membeli apa-apa.”

“Tenang saja, Isha. Kami sudah menyiapkan semuanya.”

“Baiklah, Ibu.”

☆☆☆

Sepanjang perjalanan ke panti, Isha tertidur pulas. Di masa kehamilannya saat ini terasa sangat berat baginya, Isha menjadi sosok yang benar-benar lemah, tidak seperti dulu. Jangankan memikirkan masalah yang tengah menanti di depan, terkadang untuk bangun tidur saja Isha terasa berat. Apalagi, setiap kali Isha melihat wajah suaminya, masalah-masalah itu akan kembali hadir di benaknya.

“Istrimu memang perlu istirahat banyak, Hritik. Ibu perhatikan, Isha mudah sekali lelah.”

“Ibu benar. Ya ... kadang aku merasa ada yang hilang dari Isha. Sekarang, dia lebih banyak beristirahat. Aku merasa kasihan padanya, Ibu.” Hritik mengelus kepala Isha yang bersandar di bahunya.

“Kehamilan pertama, mungkin agak berat untuk Isha,” ujar Harun yang duduk di kursi depan. 

“O, ya. Beberapa kali, Isha pernah menyebut nama Hritik, apa ... Ayah atau Ibu tahu Hritik yang Isha maksud?”

Pertanyaan Hritik membuat Susan menoleh ke bangku ketiga, tempat Isha dan Hritik berada.

“Ibu seperti pernah dengar nama itu.” Susan mengingat-ingat lagi.

“Tapi, Ayah, Ibu.” Isha memandangi keduanya bergantian. “Orang yang mengalami kecelakaan itu bukan Alam, tapi Hritik.”

“Kau ini bicara apa, Isha? Kami jelas-jelas melihat di postingan itu seorang Alam, putra kami, suamimu.”

Bagaimana caranya Isha menjelaskan agar keduanya percaya.

“Aku bersumpah, itu bukan Alam, tapi Hritik,” desak Isha.

“Nak, tidak mungkin Alam bisa berada di satu waktu yang sama di dunia ini. Alam, putra kami hanya ada satu,” ujar Harun.

Tepat sekali, Susan tidak mungkin salah. Menantunya itu menyebut nama Hritik saat di rumah sakit sewaktu putranya mengalami kecelakaan.

“Waktu itu, kau kecelakaan. Ibu rasa, karena panik atau bagaimana, Isha mengatakan pada kami jika yang kecelakaan itu Hritik bukan Alam. Tentu saja kami bingung. Ya, kan, Pak?”

Harun lekas ingat juga.

“Oh, iya. Isha kekeh sekali saat itu, dia bilang kau itu Hritik bukan Alam. Ada-ada saja anak itu, jelas-jelas yang ada di hadapan kami sekarang kau, Alam, putra kami dan suami Isha.”

Isha pernah mengatakan jika aku adalah Hritik? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya sedang kau sembunyikan dariku, Isha. Hritik. Ada banyak orang dengan nama yang sama di dunia ini, tapi Hritik siapa yang maksud?

Dua jam perjalanan menuju panti asuhan, Hritik hanya ditemani sepi dan tanda tanya tanpa jawaban di kepala. Hritik menoleh, mencoba membangunkan Isha karena mereka sudah tiba.

“Bangunlah, Isha.”

Gadis itu terbangun dengan daya belum sepenuhnya terkumpul. Isha mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Sudah sampai?”

“Ayo kubantu turun.”

Harun dan Susan lebih dulu masuk ke panti untuk memberitahu keperluan kedatangan mereka. Dibantu bodyguard-bodyguard mereka membawa makanan ke dalam.

Panti asuhan yang terdiri dari dua lantai dengan taman bermain di depan rumah mencuri perhatian Hritik saat keluar rumah. Setiap  langkah menuju pintu utama diiringi de javu yang melintasi alam pikirannya. Hritik merasa tidak asing dengan bangunan itu, padahal, ini kali pertama dia kemari.

Isha mendongak ke Hritik. Dia tahu, suaminya itu pasti heran, atau mungkin saja Hritik sudah mengingat semuanya. Isha meradang, dia ketakutan.

“Hritik.” Isha kembali mengulangi panggilan yang salah. Tetapi, suaminya refleks menoleh seakan terpanggil. Napas Isha naik turun. Dia berhenti, Hritik pun ikut berhenti.

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang