Wedding of Alam & Isha

24 8 28
                                    

Datanglah di hari pernikahan Isha dan Alam. Ballroom di sebuah hotel bintang lima yang didominasi warna monokrom bersiap menyambut hari paling dinantikan antara keluarga Askandar dan Pramana.

Tamu- tamu undangan dari berbagai lini masa, kolega bisnis keluarga itu telah datang menepati undangan. Acara akad belum dimulai karena menunggu kehadiran Alam dari luar kota.

“Kau sudah mendapat kabar soal Alam?” tanya Susan pada suaminya yang sibuk menghubungi Alam maupun supir pribadinya.

“Masih belum ada jawaban, Alam tidak mengangkat telepon. Aku khawatir dia datang terlambat.”

Susan berusaha menenangkan suaminya yang gelisah. Karan menghampiri calon besannya, bertanya tentang Alam yang belum juga datang.

“Dia akan segera datang, putraku sangat on time , tapi kenapa untuk hari pentingnya dia malah terlambat? Kuharap kau mau menunggu sebentar saja.”

“Baiklah. Isha juga sudah hampir selesai bersiap.”

Pintu ballroom terbuka, menampilkan sosok Alam yang sudah mengenakan blazer putih dengan kombinasi hitam di kerahnya. Semua mata tertuju padanya. Tanpa terkecuali inti keluarga Askandar, Harun dan Susan yang segera menyambut putranya agar segera melangsungkan akad nikah.

“Kau kemana saja, Alam? Ayah meneleponmu berkali-kali, kenapa kau tidak mengangkatnya?”

“Em, aku ... itu, ponselku kehabisan baterai.”

“Ya sudah, mari kita mulai akad nikahnya. Semua orang sudah menunggu.”

Saat hendak beranjak dari karpet panjang menuju kursi akad. Alam dibuat terpaku melihat calon istrinya yang tampil menawan dengan balutan gaun berwarna putih, tiara kecil tak kalah mempercantik rambutnya yang disanggul dengan beberapa helai yang dibiarkan di sisi telinga. Alam sampai lupa caranya berkedip ketika Isha sudah duduk di sampingnya. Gadis itu sungguh tampil sangat berbeda dari biasanya dan membuat pangling.

Karan menarik paksa tangan Alam, mengucap akad nikah yang langsung disahut oleh Alam tanpa kendala. Semua orang mengucap rasa syukur atas akad nikah yang telah dilaksanakan itu. 

Alam masih terjaga dalam bengongnya, menatap Isha yang menautkan alis.

“Kau ini kenapa?”

Alam menggeleng, salivanya diteguk dengan berat.

“Isha.”

“Tanda tangani surat nikah itu, jangan melihatku saja.” Suruhnya yang sudah lebih dulu menandatangi surat nikah.

Alam meraih pena yang diberikan Isha, menandatangani bagian bawah surat tersebut. Setelahnya, Lidya memberikan kotak cincin kepada keduanya.

“Pakaikan cincin ini pada istrimu, Alam.”

Kegugupan melanda Alam. Dia mengambil cincin itu dan memakaikannya ke jari manis Isha. Pas. Giliran Isha memakaikan cincin ke jari Alam, namun Alam tidak jua menujukkan tangan. Alhasil, Isha turun tangan, menarik tangan Alam, lalu memakaikan cincin silver ke jari manisnya.

“Sekarang, cium kening istrimu,” suruh Lidya.

“Ci-cium?”

Alam menatap Isha, dia seakan ragu melakukannya. Isha terlihat mempersilakan. Kecupan penuh ketulusan mendarat di kening Isha. Tepuk tangan bergemuruh di seluruh ballroom.

Acara dilanjutkan dengan acara santai, seperti berfoto bersama kedua mempelai pengantin. Ada yang menikmati santapan sembari menonton panggung musik yang telah disiapkan.

Pagi itu, semua dibuat sibuk. Terutama Isha dan Hritik yang harus duduk berdiri berkali-kali menerima uluran ucapan selamat.

Ketika keadaan mulai lenggang, Isha mencopot high heels  yang membuat kakinya perih. Jika tidak ada orang, dia ingin sekali melempar high heels jauh-jauh.

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang