Roti Untuk Alam

42 13 36
                                    

Isha yang tengah mengemasi baju-bajunya ditonton gadis yang sibuk bermain game online. Selesai memasukkan semua baju di tas, Isha menarik tas itu ke punggung, bersiap untuk pergi.

“Kau sungguh akan pergi?”

“Tenang saja, aku akan segera kembali. Ayahku itu orang kaya, aku bisa pura-pura merampok hartanya dan memberikan kepadamu.” Isha menepuk pundak Vidya. “Jaga mereka dengan baik, aku akan sering-sering mengunjungi kalian. Aku serahkan tanggung jawab sepenuhnya padamu.”

Vidya yang selama ini acuh pada Isha akhirnya luluh juga. Dia menarik punggungnya yang sejak tadi bersandar tembok kamar Isha, pelukan saudara tanpa ikatan mengharubiru.

“Janji kau akan kembali, Kak?”

“Hei, kau menangis?” Isha menyeka air mata di dua sisi pipi Vidya. “Kau tidak boleh terlihat lemah. Sekarang, kau pemimpin, jadi, pemimpin harus kuat, bukan?”

“Kami akan menunggumu kembali, Kak Isha.”

“Sampai jumpa lagi. Aku pamit.”

Saat Isha beranjak, langkahnya kembali tertahan melihat di pintu yang terbuka anak-anak penghuni panti asuhan menatap sedih atas keputusan putri pemilik panti asuhan itu.

Isha tersenyum lebar, tidak ingin menambah suasana sedih di antara mereka. Rata-rata anak penghuni panti asuhan itu masih usia sekolah, ada yang taman kanak-kanak sampai sekolah menengah, hanya Vidya yang atas kerja keras ibunya Isha dapat menempuh jenjang perkuliahan. Awalnya, ibunya ingin Isha yang kuliah, akan tetapi, Isha lebih memilih hidup di lingkaran  jalanan yang keras dan kejam. Sikap urakan dan preman yang Isha punyai itulah yang membuat anak-anak panti merasa takut dan tidak menyukainya. Tetapi, dibalik itu semua, anak-anak panti tahu jika Isha adalah gadis yang menyenangkan dan baik hati.

Isha merendahkan posisi tubuhnya. Membuka tangan lebar-lebar, satu persatu anak-anak panti masuk ke pelukannya.

“Kakak jangan pergi.” Serempak anak-anak panti diiringi isak tangis.

“Hei, jangan nangis! Awas saja kalau kalian membuatku ikut menangis, aku akan menarik telinga kalian satu persatu.”

Isak tangis mereka bercampur tawa kecil. Mereka begitu berat kehilangan Isha setelah kematian ibu panti yang sangat mereka sayangi.

Isha melepas pelukan besarnya. “Dengar, selama aku pergi, tidak ada yang boleh menyusahkan Kak Vidya, tidak ada yang boleh membuat siapapun menangis, kalian harus bersikap baik dan saling tolong menolong. Jangan lupakan belajar, kalian harus menjadi anak yang pintar, patuhi guru kalian, mengerti?”

Semua anak panti mengangguk. Isha berdiri, dia membuang muka sebentar, mengelap air matanya sembunyi-sembunyi, lalu kembali menghadapi wajah-wajah lugu adik-adiknya. Seorang bocah berumur 6 tahun yang bernama Lily menyodorkan kotak kardus yang dia buat sendiri ketika di sekolah.

“Ini untuk Kak Isha.”

“Wah, apa isinya? Boleh kubuka?”

Lily mengangguk.

Di dalam kotak kardus tersebut, Lily meletakkan tumpukan kertas origami yang dia buat menjadi burung. Tak hanya satu, tapi ada dua puluh burung kertas sesuai jumlah anak panti, tak lupa, Lily yang dibantu Vidya menuliskan nama penghuni panti.

“Kau yang membuatnya?”

“Di situ ada nama-nama kami. Kak Vidya bilang, saat Kak Isha melihat burung  kertas itu, Kak Isha akan ingat pada kami,” ujar bocah berbando pink.

Isha memberikan satu pelukan sebelum pergi.

“Terima kasih. Aku tidak akan pernah melupakan kalian, aku janji. Selamat tinggal semuanya. Jaga diri kalian baik-baik.” Isha melambaikan tangan sampai di ruang tamu. Sejujurnya, Isha ingin menangis, tapi dia tak boleh lemah di hadapan mereka, dia harus kuat.

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang