Secercah Titik Terang

16 4 10
                                    

Laci meja Hritik tarik, diambil buku harian yang sama seperti bayangannya.

“Buku ini ....” Hritik terduduk lemas di tempat tidur. Dia membuka halaman pertama, ada foto keluarga Isha sebelum dirusak oleh kehadiran Lidya dulu. Di foto itu, Isha mengambar anak panah dan menamai siapa yang ada di foto itu dengan ayah, ibu, dan aku. Melihat pria yang duduk memangku Isha kecil, Hritik terbayang-bayang kejadian malam itu. Malam terakhir yang Karan lalui bersama tusukan berkali-kali yang merobek perutnya. Di pikiran Hritik digambarkan, pria berjaket dan bertopi hitam itu menusuk perut Karan tanpa ampun, sekalipun Karan sudah tidak bernapas. Pria berjaket dan bertopi hitam itu kemudian membuang mayat Karan ke pelataran rumah. Pria berjaket dan bertopi hitam itu membuka topinya. Lekas, tangan Hritik lemas, buku harian itu jatuh ke lantai saat Hritik mengingat dirinya sendiri yang telah dengan tega membunuh pria di dalam foto tersebut. Pusing kembali menyerang, Hritik mencoba menggali ingatannya. Semakin dia mencoba, kepalanya semakin sakit.

“A-aku tidak mungkin membunuh mertuaku sendiri.” Hritik menggeleng tegas. “Siapa aku sebenarnya?”

Buku harian yang Hritik jatuhkan ke lantai terbuka, menampilkan lukisan rumah pohon di atas bukit yang Isha buat saat di bangku sekolah. Gambar itu menarik perhatiannya.

“Rumah pohon ini ....” Kepala Hritik kembali terguncang, dia ingat jika dirinya mengumpulkan sendiri kayu untuk membuat sebuah rumah pohon di atas bukit. Tapi dia tak yakin itu bagian memorinya atau hanya kilasan mimpi.

Satu- satunya orang yang bisa menjawab tanda tanya besar di kepalanya hanya Isha. Hritik membawa serta buku harian itu ke Isha. Sayangnya, tiba di depan panti, gadis itu telah masuk ke sebuah taksi.

“Isha mau kemana?”

Hritik menghampiri seorang supir, meminta kunci mobil dan cepat menyusul Isha.

☆☆☆

Tangan Isha tertahan untuk membuka pintu, dia tidak bisa keluar sekarang karena dari dalam mobil dia melihat beberapa orang menggelandang Arjun dari rumah persembunyian. Isha bisa melihat wajah Arjun yang babak belur dan darah mengalir dari lubang hidungnya.

Siapa mereka? Apa mereka anak buah Candragupta? Oh, astaga. Arjun dalam bahaya. Ishita! Apa Ishita baik-baik saja?

Isha mencatat plat nomor Toyota Fortuner silver yang membawa pergi Arjun di otaknya. Setelah memastikan mobil itu pergi, Isha membayar tarif taksi, lalu keluar. Isha berjalan setengah berlari masuk ke rumah yang sudah acak-acakan.

“Ishita! Kau dimana, Ishita!” Panggilnya. Isha mencari ke dapur, tidak ada orang, di kamar, juga tidak ada. Saat hendak keluar, suara pintu lemari terbuka menahan langkah Isha.

Mendapati kakaknya datang, Ishita yang ketakutan itu pun memeluk Isha. Air mata gadis 19 tahun itu meleleh mengingat dirinya diminta bersembunyi di saat Arjun mendapat serangan tak terduga dari segerombolan orang.

“Tenang, aku di sini.”

“Arjun, Kak. Tolong dia, Kak. Aku mohon,” ucap Ishita. Tangis gadis itu tak jua berhenti.

“Sekarang, kau pulanglah ke rumah, ada Ibumu di sana, kau akan lebih aman di sana, aku takut orang-orang itu kembali. Aku akan menolong Arjun.”

Ishita menghapus air matanya. “Tolong, bawa Arjun  kembali, Kak.”

“Akan kuusahakan demi kebahagiaan kalian.” Isha mengedarkan netra ke sekeliling kamar. “Kau tahu di mana Arjun menyembunyikan pistolnya?”

“Pistol?” Ishita bergerak ke depan lemari, sedikit berjinjit untuk meraih kotak kecil di atas lemari.  Dia buka kotak itu, ada dua pistol FN 57 yang menjadi senjata andalan Arjun.

Isha mengambil dua pistol tersebut, menyimpannya di balik leather jacket coklatnya.

Ishita menaruh harapan pada kakaknya itu membawa suamimya dengan selamat.

Di depan rumah, Isha menarik diri untuk melangkah maju saat Hritik turun dari mobil. Tampang Hritik tampak tak menyenangkan.

“Rumah siapa ini?” tanya Hritik to the point.

“Aku tak punya waktu untuk menjawab pertanyaanmu. Ada orang yang perlu kuselamatkan.” Isha merebut kunci mobil. Namun, pergelangan tangannya dicengkeram oleh Hritik.

“Aku akan ikut bersamamu.”

Bagaimana jika Hritik ingat saat dia bertemu Arjun?

“Tidak. Ini terlalu berbahaya.”

Hritik terkekeh. “Aku yang seharusnya mengatakan itu. Memangnya siapa yang mau kau selamatkan? Kau sedang hamil, Isha.”

“Ini tentang nyawa seseorang.”

“Siapa?”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang