Kalah untuk Mengalah

29 12 40
                                    

Hritik melempar map biru ke perut buncit Arjun yang masih terbaring di brankar rumah sakit. Tanpa bertanya, Arjun yang setengah bersandar itu membuka map dan menelisik isinya. Ada foto-foto kawannya itu, tapi Arjun tidak tahu siapa dua orang di sebelahnya. Dibuka berkas-berkas yang berada di belakang foto-foto itu.

“Aku tak paham. Sebenarnya, tugas apa yang ditugaskan untuk kita?”

“Aku tidak bisa melibatkanmu dalam hal ini, kau masih belum perlu perawatan.”

“Kawan, aku sudah sehat. Aku akan ikut denganmu, lagipula, aku juga butuh uang banyak untuk biaya menikah.”

Hritik tercengang. “Me-menikah? Menikah dengan siapa?”

Arjun tersipu malu. “Tunggu saja undangan pernikahanku.”

“Baiklah, baiklah. Akan kutunggu.” Hritik menepuk pundak Arjun. “Kau boleh ikut, tapi kau harus menjaga nyawamu sendiri sebelum kau menikah. Kita tidak tahu seberapa kuat lawan yang akan kita hadapi. Bersiaplah.”

“Kita pasti bisa menyelesaikan misi ini. Berapa waktu yang kita butuhkan?”

Lima jari Hritik unjuk gigi. “Lima Minggu. Dalam waktu lima Minggu kita harus segera menyelesaikannya.”

“Bahkan dalam sehari kita bisa mengeksekusinya, bukan?” ujar Arjun membanggakan dirinya dan Hritik.

☆☆☆

Cincin rose gold Isha pilih menjadi cincin pernikahannya. Dipakailah cincin itu, melihat apakah cocok di jari manisnya.

“Bagaimana, Ayah? Cocok tidak?” Isha memperlihatkan tangannya yang dihasi cincin tersebut.

“Sangat cocok. Benar, kan, calon besan?”

“Ayahmu benar. Cincin itu sangat cocok, Isha,” ujar Susan. “Kau juga setuju, kan, Alam?”

Alam hanya mengangguk-angguk, mengagumi senyum manis Isha. Dia juga bahagia karena Isha tidak menolak cincin pilihannya.

“Cantik, Isha.” Alam memberikan dua jempol.

“Terima kasih telah memilihkan cincin sebagus ini. Kau memang pandai.”

Akan tetapi, ketika Isha hendak melepas balik cincin yang belum dibayar itu, cincinnya tersangkut. Akhirnya, diam-diam Isha mencoba menarik-narik cincin itu dari jarinya.

Kedua orang tuanya dan orang tua Alam sedang sibuk memilih perhiasan, Isha yang belum bisa melepas cincin itu menepi sejenak ke toilet mall. Di tengah jalan ke toilet, dia menarik lagi cincinnya dan berhasil, sayangnya, cincin tersebut menggelinding dan berhenti tepat di depan sepatu seorang pria. Pria itu menunduk, mengambil cincin tersebut.

Tidak mau kehilangan cincin mahal itu, Isha mendekat, hendak mengambil cincin itu juga. Namun, gerak tubuhnya tertahan saat pria itu meluruskan punggungnya kembali. Dan, tampaklah wajah pria itu.

“Hritik?”

“Kau?”

“Astaga, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi.”

Hritik menyodorkan cincin milik gadis itu. “Ini milikmu?”

Segera Isha menerima. “Terima kasih.”

“Kau ... apa kabar?”

“Em, ya beginilah keadaanku, seperti yang kau lihat.”

Hritik mengangguk singkat.  “Sepertinya kau jauh lebih baik dari hari terakhir kita bertemu. Em, kau mau menikah?”

Isha mengangguk lemas. Andai Hritik tahu yang sebenarnya ingin Isha nikahi bukanlah Alam, tetapi dirinya.

“Hei, kenapa kau malah murung? Apa pertanyaanku semenyedihkan itu?”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang