Siapa Pelaku Sebenarnya?

17 4 9
                                    

Isha mengeluarkan satu setelan kemeja dan jas. Hritik masih berselimut tebal, mendengar derap kaki Isha yang sibuk menyiapkan perlengkapan kantornya, sayup-sayup dia membuka mata, bersandar sebentar mengumpulkan nyawa.

“Kau sudah bangun?”

“Hem,” jawabnya.

“Hari ini aku izin keluar lagi, mungkin aku pulang petang, kau pasti juga akan sibuk di kantor, kan?”

Sebenarnya, Hritik sengaja mengambil cuti tanpa sepengetahuan Isha. Karena nanti malam adalah hari ulang tahun istrinya.  Kepergian Isha pun tentu  disetujui karena dengan begitu dia bisa leluasa menyiapkan pesta kejutan.

“Pergilah, tapi jangan lupa kembali.”

“Kau ini bicara apa?” Isha menyibak selimut Hritik, menariknya untuk segera bersiap. “Aku buru-buru, cepatlah bersiap!”

“Iya-iya.”

Hritik tiba-tiba memeluk Isha dari belakang, dia sandarkan dagunya di bahu Isha.

“Terima kasih,” ucap Hritik.

Tangan Isha bergerak menyentuh pipi suaminya, menepuk pelan. “Terima kasih untuk?”

“Semuanya,” balas Hritik singkat.

“Sama-sama.”

“Aku mencintaimu, selalu.”

“Iya, aku tahu. Sudah sana mandi! Aku harus segera pergi.”

“Memangnya kau mau pergi kemana?”

Isha berpikir cepat. “Em, ada urusan penting.”

“Oh.”

“Hanya oh? Kau kira kau akan bertanya lebih lanjut.”

“Kau juga punya kesibukan sendiri, pergilah, aku akan menunggumu.”

Isha memutar badan yang masih direngkuh oleh Hritik. Keduanya kini berhadapan. Manik mata mereka bertemu. Dalam hati, Isha merasa kasihan pada Hritik yang terjebak di dalam lingkup kehidupan Alam yang tentunya sangat sulit untuk jiwanya terima. Yang Isha tahu dari Arjun, sepanjang hidupnya, Hritik tak berhenti melakoni pemeran antagonis yang bengis, jiwa pembunuhnya kapan pun akan bangkit jika panggilan tugas sudah diberikan. Tapi sekarang, yang Isha lihat hanyalah sosok pria lemah dan manja padanya.

Isha mengusap pipi Hritik dengan ibu jarinya.

“Jika ada yang menyerangmu, lawanlah, aku tidak ingin kau kalah.”

“Aku tidak ingin lagi membunuh, Isha. Setelah kemarin itu, sepanjang malam aku bermimpi buruk. Aku seperti melihat diriku sendiri menghabisi orang-orang yang tak aku kenal, mereka meminta ampun, tapi, dengan kejamnya aku tetap membunuh mereka dengan cara yang menjijikkan. Mengingat lagi mimpi-mimpi semalam kepalaku menjadi pusing.”

Isha melepas tangan Hritik dari pinggangnya. Itu bukan mimpi, Hritik. Itu bagian dari memorimu di masa lalu.

“Hari ini kau tidak masuk kantor saja jika masih pusing.”

“Tidak, aku akan ke kantor, ada banyak pekerjaan yang menumpuk.”

“Ya sudah, cepatlah bersiap. Aku pamit pergi, ya?” ujar Isha mengecup singkat pipi Hritik sebelum mengambil jaket.

Hritik terus memperhatikan langkah Isha hingga dia menutup pintu. Semburat senyum manis terlukis di wajahnya yang masih lusuh.

☆☆☆

Tenggat waktu yang diberikan klien Hritik tinggal tersisa dua minggu lagi, itu berarti, jika Hritik dan Arjun tak juga menyelesaikan misi mereka, keduanya sedang dalam bahaya. Tetapi, Isha tidak mungkin membiarkan dua kemungkinan buruk terjadi. Ingatan Hritik kembali dan dia membunuh keluarga Askandar atau Hritik terbunuh di tangan bosnya. Isha bergerak cepat menemui Arjun di tempat persembunyian barunya.

Isha membuka pintu tanpa permisi karena Ishita sudah mengintipnya dari jendela rumah.

“Dimana suamimu?”

“Dia sedang keluar sebentar membeli makanan.”

Dengan tangan, Ishita mempersilakan kakaknya duduk di kursi plastik. Dia pun mengambilkan segelas air putih untuk kakaknya yang mungkin saja haus setelah menempuh perjalanan kemari.

Isha meneguk air putih hingga tersisa setengah.

“Kak,” panggil Ishita setengah ragu.  Isha menoleh, menunggunya melanjutkan bicara. “Bisakah Kakak berjanji untuk tidak menyakiti suamiku lagi?”

“Menyakiti? Bahkan aku ingin sekali membunuhnya, Ishita.”

Jari-jari tangan Ishita menjadi gusar. “Kau masih menginginkan nyawanya? Kak, bukankah Arjun sahabat suamimu.”

Isha menampakan senyum bengisnya. “Apa peduliku? Nyawa harus dibayar dengan nyawa, aku masih membiarkannya hidup karena aku membutuhkan informasi tentang Hritik, jika sudah, aku pastikan akan membunuhnya.”

“Kak, apa yang harus kami lakukan agar Kakak memaafkan kami?”

“Tidak ada yang perlu kau lakukan! Berhentilah membujukku, Ishita! Aku muak dengan ocehanmu, kau pikir, apa ada di dunia ini seorang anak diam saja melihat ayahnya sendiri dibunuh secara keji?”

“Keji bagaimana?” tanya Ishita seolah bingung.

“Kau masih bertanya seberapa keji suamimu itu saat membunuh ayah kita?”

“A-Arjun bilang, dia hanya melesatkan satu peluru ke Ayah, lalu pergi.”

Amarah Isha tertahan, apa dia akan mempercayai omongan Ishita begitu saja? Mungkin, Arjun telah mencuci otak Ishita agar seolah-olah dia tak terlihat seperti monster di hadapannya. Senyum kecil muncul di wajah Isha.

“Dan kau percaya begitu saja?” Tawa menyergap ruangan itu. “Hei, suamimu itu pembohong.”

Berhubung Isha sudah menyalin rekaman CCTV saat Arjun menikam ayahnya berkali-kali ke ponselnya, Isha tentu saja ingin adiknya merasakan kebencian yang sama setelah menonton video tersebut.

Isha memberikan ponselnya pada Ishita. Membiarkan adiknya mengambil satu kesimpulan yang sama.

“Ti- tidak mungkin.” Napas Ishita menjadi berat, dia tidak berani menonton sampai akhir saat orang berpakaian serba hitam menikam ayahnya bertubi-tubi. “Arjun tidak mungkin melakukan itu, Kak. Aku berani bersumpah.”

“Lalu kau mengira malam itu ada orang lain yang membunuh Ayah? Kau ini bodoh sekali, Ishita.”

“Iya, aku memang bodoh. Tapi aku pastikan, Arjun tidak mungkin melakukan itu. Lihat, orang yang menikam ayah menggunakan topi yang sama dengan yang Arjun kenakan, tapi kau harus tahu, saat pulang, Arjun tidak membawa topi itu. Jika memang Arjun menikam ayah, pasti ada noda darah di jaketnya karena ayah ditikam dari jarak dekat. Jaket yang Arjun kenakan bersih dari darah, lagi pula, Arjun berkata jika dia menembak ayah dari jarak jauh,” jelas Ishita.

Sontak, apa yang Ishita sampaikan membuat Isha berpikir ulang. Dia menelisik detail rekaman CCTV yang dia tonton berkali-kali. Ya, dirinya memang menemukan kejanggalan yang Ishita paparkan, hanya saja, untuk apa dirinya berspekulasi lain jika dia sudah menemukan satu nama untuk menjadi dalang pembunuhan ayahnya?

“Kau tidak sedang bercanda?”

“Yang dikatakan Ishita itu benar, Isha.”

Sejurus, kakak beradik itu melihat Arjun yang sejak tiga menit lalu berdiri mendengarkan percakapan keduanya. Arjun meletakkan kantong plastik yang di sana ada dua box makanan.

“Aku kira, Paman Karan meninggal karena luka tembakan. Boleh kulihat rekaman itu?”

Isha memberikan ponselnya pada Arjun. Wajah Arjun terpaku menyaksikan Karan dibunuh secara brutal. Seperti istrinya, Arjun tidak menonton video itu sampai selesai.

“Ini bukan aku.” Arjun langsung membela diri. “Di video itu terjadi beberapa jam setelah aku pergi.”

“Kau yakin?”

Tangan Arjun memohon. “Percayalah padaku, bukan aku orangnya. Ya, aku memang menembak Ayahmu, tapi aku tidak tahu apakah peluru yang aku lesatkan membunuh Ayahmu atau tidak.”

Lalu, siapa pelaku sebenarnya? Isha mengelus dagunya sendiri, berpikir keras menemukan titik temu.

☆☆☆

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang