Duka

17 5 8
                                    

Hari ini, Isha memutuskan untuk ke basecamp teman-teman seperjuangannya yang hidup di kerasnya jalanan.

Giliran, Isha menyetir, membiarkan Hritik melempar pandangan ke sekeliling pasar yang sudah tertata rapi dan dicat warna-warni. Pasar yang mereka lewati seperti bukanlah pasar, melainkan seperti tempat festival yang ramai dengan pernak-pernik di setiap kios.

Menjauh dari area pasar, Isha mengarahkan motornya ke jalan kecil yang  tak tersorot gemerlap keceriaan pasar tadi, hanya kegelapan yang ada.

Motor dimatikan, Isha menyuruh Hritik turun dengan isyarat dagu. Karena jalanan itu tidak bisa dilanjutkan dengan motor, terpaksa mereka harus berjalan ke tempat yang tersembunyi itu.

“Kau mau membawaku kemana, ha?”

Isha menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. “Diamlah.” Bisiknya.

Di gang sempit itu, remang-remang  bayangan pria berbadan kekar menghadang keduanya. Tidak lama, muncul beberapa pria berbadan tak kalah kekar dengan pria pertama.

Isha dan Hritik bersiap di mode menyerang. Tanpa banyak bertanya, keduanya maju dengan kekuatan penuh. Dengan sekali ancang-ancang, Isha melompat, menumpu satu kaki ke tembok dan melayangkan pukulan secepat kilat ke kepala seorang pria. Pria berbadan kekar hendak membalas, tapi segera ditangkis oleh Hritik.

Sati tendangan ke ulu hati Hritik arahkan, membuat pria itu terdorong ke belakang.

Seorang yang lain maju menyerang dengan mempertemukan kepalan tangan ke sudut bibir Hritik, darah segar mengalir. Hritik menyeka sudut bibirnya yang berdarah, tanpa membuang-buang waktu, dia balik membalas. Dia pun menahan tangan yang pria itu layangkan, lekas menghajar perutnya dengan meninju berkali-kali hingga pria itu muntah dan terkapar. Tak jera melihat pria itu mulai kehilangan kesadaran, tendangan lurus Hritik berikan ke kepala pria itu.

Tepuk tangan Isha membuat Hritik memutar badan.

“Selamat datang di rumah keduaku. Kau menikmati penyambutannya?”

Hritik  masih belum menemukan titik temu. Napasnya terdengar memburu, dia pun mendekati Isha.

“Mereka temanmu?”

Isha mengangguk. “Mereka semua juga keluargaku.”

Kemudian, Isha  mengajak Hritik masuk ke rumah berlantai dua yang dulunya rumah terbengkalai milik keluarga seorang tetua di wilayah tersebut. Basecamp yang biasanya suram, gelap, dan kotor tidak melekat di sekeliling ruangan itu. Yang ada hanyalah kafe modern dengan sedikit sentuhan klasik Eropa.

“Kau pemimpin mereka?” tanya Hritik disela Isha memakan roti bakar.

“Aku tidak menempatkan diriku sebagai pemimpin mereka. Bagiku, mereka adalah keluargaku, keluarga yang harus aku jaga juga. Mereka hidup di jalanan dengan berbagai latar belakang kehidupan yang tidak beruntung. Di sini, kami bekerja untuk orang-orang di pasar, menjamin keamanan mereka dari berbagai opini  yang menginginkan mata pencaharian mereka dirampas paksa.”

Seorang laki-laki bernama Amar membawa dua gelas minuman pesanan Isha. Laki-laki berumur 19 tahun itu menelisik wajah Hritik yang sepertinya pernah dia lihat di suatu tempat, tapi dia lupa di mana dia melihatnya.

“Aku seperti pernah melihat orang ini,” tukas Amar.

“Namanya Hritik. Kau bisa menambahi sapaan Kakak di depannya,” balas Isha.

Amar mengelap tangannya ke celana sebelum meminta salaman. “Amar.”

Hritik membalas dengan mengulurkan tangan balik. Sambil sedikit membungkuk, Amar berbisik. “Kau pria asing pertama yang dibawa Kak Isha kemari. Itu artinya, kau berharga baginya dan kau layak kami lindungi.” Amar kembali menegakkan punggung.

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang