Pintu mobil dibuka, tak lama muncul Hritik dari dalam mobil, merapikan sebentar jasnya, lalu berjalan penuh kharisma di lobi kantor. Hritik yang tidak mengenal siapapun orang di sekitarnya hanya menyapa dengan senyum hangat satu persatu karyawan yang dia lewati.
“Selamat pagi.” Sapa Hritik pada seorang OB yang melewatinya.
“Pagi, Pak Alam. Pak Alam sudah sehat?”
“Ya, seperti yang kau lihat.”
“Pagi semuanya,” ujar Hritik saat melewati ruang divisi concept art.
Tidak ada yang tidak tercengang melihat kelakuan bos mereka itu. Alam yang mereka kenal lebih senang menutup diri dan buru-buru ke ruangannya saat tiba. Untuk berbicara saja, mereka harus melewati waktu yang lama karena Alam tidak terbiasa dengan orang asing. Mereka hanya bisa menyampaikan apapun yang berkaitan dengan pekerjaan kepada orang kepercayaan Alam, yang tak lain asisten pribadinya, Ruhan.
“Lewat sini, Tuan,” ujar seorang bodyguard mempersilakan Hritik untuk masuk ke lift.
“Oh, baiklah.”
Dua bodyguard mengawal Hritik sampai di depan ruangannya. Hritik masuk ke ruang kerja yang begitu asing baginya, tidak terbersit sedikit pun memorinya di tempat itu. Rasanya, dia seperti baru pertama kali menginjakkan kaki di ruangan yang lebih tepat disebut kelas anak TK, ada banyak coretan abstrak ydi dinding dan origami berbagai bentuk terpajang di lemari. Di atas meja kerja, Hritik mengambil foto dirinya dan Isha saat mereka menikah. Isha tampak cantik sekali di foto itu. Tapi mengapa, kenangan manis itu pun tidak membekas di ingatannya?
Hritik berjalan mendekati dinding kaca yang menampilkan lanskap deretan gedung-gedung pecakar langit. Diusap bingkai foto dari debu tipis yang menyelimuti.
“Apa sebelumya, pernikahan kita berjalan baik, Isha? Mengapa Tuhan mencabut ingatanku, apa Tuhan tidak ingin aku mengingat sesuatu yang menyakitkan?”
Ketukan pintu diiringi salam membuyarkan lamunan Hritik. Pintu belum juga terbuka, dia pun membuka sendiri pintu tersebut, lalu muncullah pria berjas coklat membawa sebuah iPad di tangannya.
“Oh, seharusnya Pak Alam tidak perlu membuka pintunya,” ucap Ruhan.
“Tidak apa, kau lama sekali membukanya.”
“E, biasanya Anda selalu mengatakan silakan masuk, baru setelah itu saya akan masuk.”
Hritik menggaruk tengkuk kepala. “Oh, aku tidak ingat.”
Ruhan berusaha memahami bila bosnya itu sedang kehilangan memorinya. “Baiklah, boleh saya masuk, Pak?”
Hritik menepikan tubuhnya, memberi jalan bagi Ruhan. “Silakan, silakan.”
Sebenarnya, Ruhan senang melihat perubahan yang terjadi pada bosnya, hanya saja, apapun kekurangan yang dimiliki Alam dulu cukup melekat di benaknya, apalagi banyak kenangan yang tercipta sepanjang mereka bekerjasama sebagai partner kerja. Ruhan merasa yang duduk di depannya adalah orang asing berwujud Alam.
“Baiklah, apa ada masalah?”
Ruhan menggeser iPad-nya ke Hritik, dia sudah membuka sampel concept art untuk animasi terbaru mereka. Hritik bingung harus diapakan gambar-gambar yang ditunjukkan Ruhan padanya.
“Silakan Anda cek, mungkin ada revisi atau ada yang perlu kami tambahkan.”
Hritik menyerah, dia buntu melihat gambar-gambar di layar iPad itu. Dia hanya mengangguk, menggeser balik iPad milik Ruhan.
“Aku serahkan kepadamu.”
“Tapi, Pak ....”
“Ayahku bilang, kau orang kepercayaanku, jadi aku percaya padamu.”
“Pak, tapi ....” Sebelum ini, Alam seorang yang sangat teliti soal urusan pekerjaan, kesalahan sebesar titik debu pun dia akan tahu. Tapi sekarang. “Baiklah, Pak. Saya permisi.”
Menggunakan tangan, Hritik meminta Ruhan untuk bertahan sebentar.
“Kau ada waktu senggang?”
“Memangnya ada apa, Pak?”
“Besok, istriku berulang tahun, temani aku mencari kado untuknya.”
“Mencari kado?”
“Ayolah, kau sudah lama bekerja denganku, bukan? Pasti pernah aku bercerita tentang apa yang istriku ingini.”
Bahkan, setelah menikah Anda tidak pernah datang kemari, Pak. Batin Ruhan. Kemudian, dia mengiyakan saja.
“Saat jam makan siang, bagaimana, Pak?”
“Boleh.”
Benar saja, di jam makan siang, Ruhan mencuri waktu untuk menemani bosnya ke mall mencari kado ulang tahun Isha. Hritik meminta sendiri agar bodyguard -nya tidak ikut serta, selain berbelanja, Hritik yang menganggap dirinya sebagai Alam ingin tahu banyak hal dari Ruhan mengenai dirinya yang dulu.
“Aku memiliki autis?” tanya Hritik tak percaya.
“Iya, Pak.”
“Sepertinya kecelakaan yang terjadi padaku sangat hebat, bisa membuat autisku sembuh.”
Ruhan menanggapi dengan tersenyum simpul.
“Pak, maaf, kita sudah berkeliling lantai satu, sebenarnya apa yang Anda cari?”
“Sampai lupa. Jujur, aku sendiri bingung apa yang harus aku beli, kau ada saran?”
Ruhan berpikir sebentar sembari mencari di internet barang yang paling wanita sukai. Ada banyak barang yang wanita sukai, tidak mungkin bosnya itu membelikan semuanya, meski dia mampu membeli mall dan seisinya.
“Saya juga bingung, Pak.”
Hritik menimang-nimang ulang barang apa yang sekiranya belum istrinya punyai. Semalam, saat Isha tertidur dia menggeledah lemari istrinya, tidak ada kotak perhiasan, baju, tas, ataupun sepatu branded di sana. Hampir semua outfit Isha rata-rata banyak ditemui di toko baju online, pun, baju-baju istrinya itu jauh dari kesan feminim. Hritik penasaran, kenapa istrinya memiliki gaya hidup sederhana, jika keluarganya mampu memenuhi nafsu berbelanjanya.
“Kita berkeliling dulu ke toko baju wanita, di mana yang paling mahal?”
“Mari ikuti saya, Pak.”
Hritik menunjuk semua baju yang paling mahal di sebuah toko. “Saya borong semuanya.”
“Ta-tapi, Pak?” Ruhan heran saja, dulu, bosnya itu tidak seboros sekarang, apalagi hanya soal urusan baju wanita.
“Tas. Dimana toko tas wanita?”
Ruhan menunjuk salah satu toko. Tidak menunggu terlebih dahulu baju-baju pesanannya dikemas, Hritik main pergi ke toko tas wanita. Ruhan mendesah berat, saat pelayan toko itu memberinya totebag di tangan kanan dan kirinya.
“Anda yakin bisa membawanya, Pak?” tanya pelayan itu melihat Ruhan kesusahan membawa.
“Bisa-bisa.”
Hritik mengambil satu tas yang seharga mobil BMW Seri 5. Tidak cukup satu, ada lima tas yang tak kalah bernilai fantastis dibelikan untuk Isha. Setelah pesanannya dikemas, Hritik membawa sendiri totebag berisi tas itu sembari menghampiri Ruhan yang menunggu di depan toko.
“Biarkan saya yang membawanya, Pak?”
“Tidak usah. Aku bisa membawanya sendiri.”
“Ada lagi, Pak yang harus dibeli?”
“Em, sepatu. Isha tidak punya sepatu, semua sepatunya seperti sepatu laki-laki.”
“Anda tahu ukuran kakinya, Pak?”
“Aku tidak tahu, tapi tidak besar, tidak kecil, sedang.”
Karena tidak tahu pasti berapa ukuran kaki Isha, Hritik hanya menduga-duga saja berapa ukurannya. Lima pasang sepatu dengan berbagai merek, berbagai ukuran, dan berbagai bentu Hritik pilihkan. Dia tidak tahu sepatu mana yang disukai Isha.
“Isha pasti menyukainya,” ujar Hritik membawa sebuah heels dari Dorce Gabbana seharga 15 juta, sejak masuk ke toko itu, heels yang dihiasi bunga kristal itu sudah mencuri perhatiannya.
☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Fikar Not [END]
Mistério / Suspense[Juara 1 Genre Thriller Writing Marathon Jet Media] Thriller - Romansa - Religi UPDATE SETIAP HARI ☆☆ Hritik Narayan, seorang pembunuh bayaran yang terjebak dalam cinta dengan gadis pemberani, Isha Arablla. Cinta Hritik Narayan mengantarkannya ke s...