Angin

16 5 9
                                    

Sebelum menuju panti asuhan, Isha meminta untuk membelokkan motor mereka ke sebuah restoran. Ada banyak makanan yang sengaja Isha pesan untuk anak-anak panti. Sembari menunggu pesanan datang, keduanya menikmati pemandangan di rooftop restoran yang terbuka.

Angin semilir menerbangkan pelan rambut Isha. Dia merentangkan tangan, membiarkan angin menerjang tubuhnya.

“Kulihat, kau suka sekali menikmati angin.”

“Ya. Aku sangat menyukai ketika angin berembus dan menerpa diriku, seakan ada kebebasan yang datang. Aku ingin menjadi angin yang bebas, tak terkekang ruang ataupun waktu, angin akan berkelana kemana saja mereka mau. Bukan hanya angin, aku juga sangat mencintai udara. Tuhan menciptakan udara sebagai sumber kehidupan manusia. Begitu pula aku, aku ingin menjadi udara, menciptakan kebahagian untuk orang-orang yang aku cinta, itulah tujuanku, jalan hidupku.”

Isha meraih kedua tangan Hritik, membantunya untuk ikut merentangkan tangan.

“Tutup kedua matamu. Rasakan setiap hembusan angin yang ada. Sambutlah kebebasan.”

Isha kembali ke posisi semula, sedang Hritik yang awalnya ragu untuk mengikuti jejak Isha itu pun penasaran dan akhirnya mencoba. Dia mulai menutup mata, angin mulai menerpa tubuhnya.

Kau benar, Isha. Ujar Hritik dalam heningnya kegelapan. Dia pun membuka mata, memperhatikan Isha yang belum membuka matanya. Senyuman tipis terlukis di bibir Hritik.

Sebuah ide muncul di benak Hritik. Mengingat gadis itu belum membuka matanya, dia pun pergi diam-diam dari rooftop.

“Selesai,” kata Isha. Dia menoleh ke kiri, tidak ada Hritik di sana. Lalu, dia mengedarkan netra ke sekeliling. Isha menjerit. “Hritik! Awas kau, ya!”

Pesanan telah berada di kedua tangan. Isha dan Hritik cukup kesusahan membawa bungkus makanan yang cukup banyak itu.

“Ini banyak sekali, memangnya ada berapa anak di panti asuhan itu?” tanya Hritik.

“Dua puluh anak. Tapi, karena hari ini adalah hari spesial, jadi aku memesan lebih.”

Hritik naik duluan, membiarkan satu kardus di depannya, dan satu kardus lagi di tengah-tengah mereka. Beberapa totebag berisi camilan tak lupa di bawa Isha di tangan kanan dan kirinya. Bisa dibayangkan betapa ribetnya mereka membawa makanan sebanyak  itu, jika dilihat  mereka seperti mau mudik lebaran.

Untungnya, jarak restoran dengan panti asuhan tidaklah jauh. Rasa pegal mereka pun tak berlangsung lama. Karena sebelum datang Isha sudah mengabari Maya, anak-anak panti itu pun menyambut keduanya di depan panti asuhan.

“Ada yang mau menolong?” tanya Isha.

“Aku!”

“Aku, Kak Isha.”

Anak-anak itu pun mengerumuni motor Isha, membantunya menurunkan makanan.

“Langsung dibawa ke dapur, ya?”

“Baik, Kak.”

“Yang ini biar aku saja yang bawa ke dapur,” tukas Hritik memboyong kardus yang satunya.

“Biar kutunjukkan dapurnya.”

Rupanya, ruang tengah panti asuhan sudah didekorasi untuk menyambut kedatangan Vidya yang hari ini di wisuda.

“Wah, kalian yang menyiapkan ini?” tanya Isha pada Maya.

“Setelah Kak Vidya berangkat, kami buru-buru mendekor ruang tengah, Kak,” balas Maya.

“Pasti Vidya senang.”

Hritik yang menahan beban kardus itu bertanya. “Isha, di mana dapurnya?”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang