10 Jt atau Nyawa Melayang

34 15 29
                                    

Karan mengangguk. Ada tawa kecil dalam benaknya karena kelakuan Isha sama persis dengan dirinya ketika masih muda. Energik dan berkata apa adanya.

Di ruang makan, Karan bersiap menyambut Isha yang sudah berganti baju tengah turun dari lantai dua. Pakaian yang dikenakan putrinya itu masih sama saja, perpaduan celana jeans, kaos dan hem kotak-kotak. Tak lupa rambut panjang Isha yang digerai begitu saja.

“Dia tampak menyedihkan sekali. Apa aku harus melakukan sesuatu dengan penampilannya itu?” tukas Lidya lirih.

“Entahlah, Lidya.  Sepertinya jika kau melakukan itu pun, kupastikan Isha akan menolaknya. Biarkan Isha menjadi dirinya sendiri, perlahan, akan kuajarkan Isha bagaimana berlaku sopan santun yang baik.”

Lidya manggut-manggut saja.

Isha tiba di ruang makan. Karan berdiri, menarik satu kursi untuk putrinya itu.

“Oh, padahal, aku ingin duduk di sini,” ujar Isha menarik kursi di samping kursi yang ayahnya pilihkan.

“Tidak apa, kau duduk di situ saja,” balas Karan memahami kemarahan yang masih bertengger di benak Isha.

“Makanan sebanyak ini untukku?”

“Tentu saja untukmu, Isha. Kau ingin makan apa, mau kuambilkan?”

Isha mengangkat telapak tangannya. “Aku bisa mengambilnya sendiri, Ibuku mendidikku untuk tidak bergantung kepada orang lain. Aku terlahir untuk menjadi pribadi yang mandiri.”

Lidya duduk kembali. Membiarkan Isha mengambil makanan sesuka hati. Dia melirik suaminya yang sama sekali tak berpaling dari Isha, setiap kali putrinya itu bergerak mengambil makanan, dia akan tersenyum seakan memikirkan sebuah kenangan masa lalu.

“A-aku ke belakang dulu,” tukas Lidya yang tak mendapat respon dari Karan. Dia buru-buru pergi dari meja makan.

Mengetahui piringnya penuh, Isha memberikan piring berisi tumpukan lauk itu ke ayahnya.

“Ayah perlu makan, kan? Ini untuk Ayah.”

“Sikapmu ini mengingatkanku pada Ibumu.”

“Ibuku yang mengajari. Cepat makan, Ayah, aku akan menunggu sampai selesai.” Isha duduk di kursi samping ayahnya dengan tangan terlipat di atas meja.

“Ayah makan.”

“Silakan.”

Isha benar-benar mewarisi kebiasaan ibunya selain parasnya yang sama-sama cantik.

“Ayah.”

Karan menghentikan makannya. “Ada apa?”

“Anak itu kemana? Ini sudah hampir malam, anak itu kenapa belum pulang?”

“Maksudmu, Ishita?”

“Iya, anak itu.”

“Ishita ... em.” Karan menurunkan garpu dan sendok. “Ishita kabur dari rumah.”

“Kabur?”

“Ayah berniat menjodohkan Ishita dengan putra teman Ayah. Tapi, Ishita menolak dan pergi dari rumah. Lalu ....”

“Lalu kenapa?”

“Tidak jadi. Nanti saja Ayah lanjutkan, ya? Ayah harus segera menghabiskan ini agar kau bisa cepat makan.”

“Oke.”

Perut Karan rasanya ingin meledak setelah melahap makanan yang hampir semuanya berbahan daging. Karan bersendawa, memancing tawa riang Isha.

“Ayah lucu.”

“Kau juga, Putriku. Sekarang, kau makanlah.”

“Melihat Ayah makan saja, aku sudah merasa kenyang.”

“Setidaknya, kau cicipi makanan sedikit saja.”

“Boleh.”

Isha mengambil sepotong ayam dan nasi. Melahap dua menu itu dalam waktu singkat menggunakan tangannya. Dia tampak lahap, diambil lauk lain di sebelahnya. Isha begitu rakus kali ini, jika bukan karena makanan itu enak, pasti dia tidak akan rela makanan penuh kolesterol itu menumpuk di perutnya.

Perut Isha berbunyi usai ditepuk. “Aku sudah kenyang sekarang. Aku ingin cuci tangan dulu dan membicarakan suatu hal pada Ayah. Ayah tunggu di sini.”

“Iya.”

Saat sedang mencuci tangannya di wastafel dapur. Isha melihat Lidya yang sibuk menghapus air mata di pipinya. Beberapa helai tisu Isha ambil untuk mengeringkan tangannya.

“Bibi kenapa menangis? Aku tahu, karena aku, kan? Sudahlah, Bibi. Bibi tidak perlu menangis, itu hanya membuang-buang tenaga. Aku memang begini, kasar, tidak sopan, berbicara apa adanya, dan jangan lupakan satu hal, aku juga pandai membunuh orang.”

Netra Lidya membulat kaget. “Mem-bunuh? Nak, siapa yang telah kau bunuh?”

“Banyak. Kau mau juga menjadi mangsa  .....” Pisau lipat kebanggaan Isha tampil di depan mata Lidya. “Senjataku, Bibi?”

Sekujur tubuh Lidya tak kalah bergemetar tatkala pisau milik Isha yang begitu tajam tak bisa teralihkan dari matanya.

“I-Isha. Ampun, Isha. A-aku akan melakukan apapun, ta-tapi, jauhkan benda itu dariku.”

Gelak tawa menggelar dari Isha. “Kau takut, Bibi? Astaga.” Isha melipat kembali pisaunya dan menaruh di kantong celana. “Aku tidak meminta Bibi melakukan apa-apa. Hanya saja, sedikit uang itu pun cukup untuk memberi makan pisauku.”

“U-uang? Aku akan memberikannya, kau ingin berapa?”

“Sepuluh juta. Tapi Ayahku tidak boleh tahu kau memberikan uang padaku.”

“Akan kuturuti.”

Lidya memberikan ponselnya. “Ketik saja nomor rekeningmu.”

Isha mengetik nomor rekening milik Vidya yang sangat dia ingat. Karena Vidya lah orang yang dipercaya Widuri mengurus keuangan panti.

“Sepuluh juta?”

“Tepat sekali.”

Tanpa lama-lama, uang senilai sepuluh juta itu telah terkirim ke rekening Vidya. Giliran Isha memberi kabar pada Vidya tentang uang yang masuk ke saldo rekeningnya.

“Kau wanita yang baik ternyata. Terima kasih sudah bersedekah ke panti asuhan, Bibi.”

“Panti asuhan?”

“Sudahlah, jangan tanya-tanya lagi, Bibi. Daripada kau tangisi sikapku yang menyebalkan ini, lebih baik kau tangisi putrimu yang kabur itu.”

“Kau tahu dari mana?”

“Sudah kubilang, jangan tanya-tanya lagi.” Isha menggeleng saja, lalu pergi meninggalkan Lidya di dapur sendiri.

Masih setia menunggu putrinya, Karan menampilkan senyuman melihat Isha kembali datang.

“Duduklah. Kau bilang, kau ingin membacakan sesuatu?”

Isha duduk, berpikir sebentar untuk menyusun kata-kata yang pas. “Ayah ... sebenarnya, Ibuku sudah pergi. Maksudku, Ibuku sudah meninggal satu minggu yang lalu.”

“Me-meninggal?” Karan sangat syok mendengar kabar buruk yang barusan lewat di telinganya. Tangis menyeruak, dia tidak menyangka Widuri akan pergi secepat itu sebelum dia mendapat maaf secara langsung dari wanita itu.

“Bahkan aku belum sempat mendapat maafmu, Widuri.”

Isha menepuk-nepuk pundak Ayahnya. “Tenang saja. Ibuku itu pemaaf, pasti Ibuku sudah memaafkan Ayah.”

Karan menoleh, memeluk erat putrinya sembari berkali-kali meminta maaf. Dia harap, maafnya akan didengar oleh Widuri di alam sana. Sekarang, Karan akan mengencangkan rasa bersalahnya dengan membuat kehidupan terbaik bagi putrinya.

“Ayah minta maaf.”

☆☆☆

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang