Anak Mana?

35 15 54
                                    

Foto dengan rumah yang ada di depannya cocok. Itu artinya, Isha berhasil menyelesaikan perjalanan. Dia turun dari motor, mendekati seorang penjaga yang berdiri di depan pos penjagaan.

“Maaf, Pak. Apa benar ini rumah Tuan Karan Pramana?” tanya Isha menujukkan foto rumah itu. 

“Benar, Nona. Maaf, apa tujuan Nona kemari?” Penjaga itu balik bertanya.

“Saya ingin bertemu Tuan Karan Pramana, Ayah saya. Sampaikan  padanya bahwa putrinya telah datang.”

“Putri? Saya belum pernah menjumpai Nona selama saya bekerja di sini. Maaf, saya tidak bisa memberi izin masuk kepada Nona.”

Isha menatap tegas petugas keamanan. “Apa susahnya kau tinggal bilang ke tuanmu itu, ha?” Spontan, kepalan tangan menusuk perut petugas keamanan itu dan membuatnya tersungkur.

Melihat kesempatan yang ada, Isha memanjat pagar, tapi kakinya ditarik-tarik seorang penjaga lain. Tidak ada pilihan lain, terpaksa Isha tendang kepala pengaja itu tanpa beban.

“Rasakan!” Sambil menjulurkan lidah.

Isha berhasil masuk, diikuti dua penjaga yang sudah membuka gerbang. Isha berlari ke dalam rumah. Saat sudah bisa masuk, Isha menutup pintu utama sekuat tenaga. Satu penjaga berusaha mendobrak pintu, sedang satu penjaga satunya menghubungi majikan mereka yang sedang di kamar. 

“Dua orang itu keras kepala sekali,” ujar Isha disela menahan pintu.

Seorang wanita paruh baya yang bisa dikatakan seumuran dengan ibunya melihat Isha terganga. Nampan berisi segelas air putih dan piring kecil sebagai tempat obat meluncur begitu saja ke lantai.

“Si-siapa, kau?” Menunjuk-nunjuk Isha yang masih menahan dobrakan.

Isha menyerah, membiarkan pintu terbuka dengan cepat dan membuat seorang penjaga terjerembab ke lantai.

Karan Pramana yang dicari oleh Isha turun dari lantai dua sembari memegangi kepalanya yang pusing. Melihat seorang yang sangat dia rindukan, Isha berlari menghampiri Karan yang masih berjalan di tangga. Isha menghempaskan tubuhnya ke pelukan sang ayah.

Karan membeku saja, bertanya-tanya siapakah gadis kumal yang berani-beraninya memeluk dirinya.

“Ayah.”

“Ayah?” Karan melihat sekilas istrinya yang syok akan pernyataan Isha. “Siapa kau? Kenapa kau membuat onar di rumahku?”

Isha melepas peluk. “Aku anakmu, Ayah.”

“Anak? Anak dari mana? Aku istrinya, aku tidak pernah merasa melahirkanmu,” gerutu Lidya.

Isha menghampiri wanita yang ternyata adalah ibu sambungnya. Dipegang kedua bahu wanita itu. “Dengar, Bibi. Aku Isha, putri kesayangan Tuan Karan Pramana dan Nyonya Widuri. Tentu kau tidak asing dengan nama Ibuku, bukan?” ucap Isha memajukan dagunya.

Lidya dibuat tercengang, begitu juga Karan yang memilih menghampiri keduanya.

“Kau ... putri Widuri?”

Isha memutar badan ke Ayahnya. “Tepat sekali. Kau ingin bukti?” Diserahkannya surat terakhir dari ibunya, Karan menerima dan langsung membacanya.

“Dan kau, Bibi. Lihat, nampaknya kau sudah bahagia sekali setelah merebut kebahagiaan Ibuku. Harusnya ....” Isha menarik kalung Lidya hingga membuatnya selangkah lebih maju. “Apa yang kau miliki sekarang menjadi milik Ibuku. Tapi, dia memilih menyerah dan membiarkan wanita busuk sepertimu mengambil kebahagiaanya.”

Ditepuk-tepuk pipi Lidya dengan sinis. “Sekarang, aku ingin mengambil kembali kebahagiaan itu darimu, kau tak boleh melarangku untuk itu.”

Karan menarik tangan Isha dari kalung Lidya. “Putriku.”

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang