Menjadi Seorang Ayah

16 4 6
                                    

Bola mata Isha menyipit, dia ingin memastikan apakah orang yang kini bersimpuh di atas sajadah itu benar-benar Hritik suaminya? Netra Isha mencari jam, tepat di dinding dia temukan jam dengan jarum mengarah ke angka 4 lebih.

Hritik salat? Sejak kapan? Ba-bagaimana bisa?

Hritik menoleh ke kanan, lalu ke kiri diiringi salam lirih. Menyadari istrinya sudah bangun, Hritik buru-buru menghampiri dan duduk di sampingnya.

“Kenapa, bangun-bangun kau seperti orang kebingungan, Isha?”

“Kau salat?”

Hritik mengangguk singkat.

“Sejak kapan kau salat?”

“Kata Ruhan, aku yang dulu tidak pernah meninggalkan salat. Aku pikir, bukankah itu kebiasaan yang baik?”

Jujur, Isha senang melihat apa yang Hritik kerjakan. Dia tidak tahu persis bagaimana kepribadian  Alam yang asli, tapi dia sangat bersyukur karena Alam yang asli dikelilingi orang-orang yang takut pada Tuhan.

“Siapa yang mengajarimu?”

“Ruhan.”

“Oh.” Isha manggut-manggut.

“Kau mau salat juga? Kau tahu, rasanya, saat aku salat dan bersujud, hatiku sangat damai. Seakan ada angin yang begitu damai menyelusup ke pori-pori kulitku. Setiap hari aku selalu menanti dan merindukan waktu-waktu salat, andaikan bisa, aku ingin salat 24 jam.”

Apa itu hidayah? Sebuah hidayah yang Allah turunkan dari seorang yang hidup dalam kemalangan. Sebuah hidayah teruntuk manusia terkutuk yang tidak punya belas kasihan. Itu mengingatkan betapa indahnya jalan hidayah datang kepada seorang yang terang-terangan ingin membunuh Rasulullah dan justru, makam orang itu terbaring di sebelah makam Rasulullah. Yakni Umar bin Khattab ra.

Masa lalu Hritik sangatlah kelam, tapi nilai terbaik setiap insan dapat kita lojat di akhor hidupnya jangan menoleh ke belakang, siapa yang tahu seorang yang berperang melawan agama Allah, di akhor hidupnya mendapat gelar mulia, pedangnya Allah.

Dan ingat pula, Allah tidak memilih siap, darimana, statusnya, ataupun berapa jumlah hartanya untuk memberikan hidayah. Allah tidak memandang apapun, harta sekalipun, karena sepatu Fir'aun berada di neraka, sedangkan seorang yang dipandang rendah seperti halnya Bilal bin Rabah yang derap sandal jepitnya terdengar sampai ke surga.

“Ajari aku salat.”

Apakah terlambat untuk sedikit naik mendekati Rabbi? Ini hanyalah sekadar fase untuk menjadi lebih baik, disamping menyadari segunung dosa yang semakin memuncak. Perubahan perlu waktu bukan?

Hritik tersenyum. “Aku belum bisa mengajarimu. Tapi tak apa, akan kuajari sebisaku.”

Gadis itu menurunkan kakinya ke lantai dan bersiap mengambil air wudu.

☆☆☆

Pagi ini, Hritik dan Isha berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk Susan. Namun di tengah jalan, Isha yang masih kurang enak badan meminta berhenti. Gadis itu keluar mobil dengan tergesa. Langsung saja dia muntahkan sarapan yang telah masuk ke perutnya. Hritik yang cemas memberikan air hangat yang memang sengaja Isha bawa untuk berjaga-jaga bila dia merasa mual.

Isha menyeka sudut bibirnya yang terkena muntahan dengan tisu. Tubuh gadis itu lemas tak bertenaga. Hritik membawa Isha ke dalam mobil dan memberinya  minum.

“Kau masih kuat? Setibanya nanti kita cek ke dokter.”

Isha menggeleng lemah. “Aku tidak apa, Hritik. Aku hanya butuh istirahat saja.” Isha menerima minum dari Hritik, meneguknya sedikit. “Ayo kita segera ke rumah sakit, aku ingin cepat melihat kondisi Ibu.”

Hritik membantu Isha memasang sealtbet. Setelah memastikan aman, Hritik menutup pintu pelan karena gadis itu mulai menutup mata. Hritik mengitari depan mobil untuk mencapai kursi kemudi. Dia menyalakan mesin mobilnya.

Kenapa Isha selemah ini? Apa yang dia perbuat kemarin hingga dia sakit?

Setibanya di rumah sakit, Hritik hendak membangunkan Isha. Tapi dia tidak ingin mengganggunya. Hritik menepuk pelan pipi Isha, gadis itu tak merespon.

“Isha, kita sudah sampai. Isha.” Hritik mula panik karena Isha tak kunjung membuka mata. Hritik mengencangkan tepukan di pipi Isha, gadis itu tak jua bangun. Sejak tadi, Isha memang tidak tidur, tapi pingsan.

Hritik membuka sealtbet- nya dan berputar ke depan pintu samping Isha. Hritik bergegas membawa tubuh Isha yang lemah itu ke dalam rumah sakit. Seorang suster yang lewat sejurus membantu Hritik dengan membawa brankar untuk Isha.

“Apa yang terjadi dengan wanita ini, Pak?” tanya suster itu.

“Tadi dia muntah-muntah lalu pingsan,” jelas Hritik cemas.

Saat brankar yang ditempati Isha telah masuk ruang IGD, Hritik mondar-mandir di depan kursi tunggu. Dia takut Isha kenapa-napa karena wajahnya pucat sekali sejak semalam. Dia juga tahu semalam Isha demam. Tapi gadisnya itu tetap memaksakan diri untuk menjenguk Ibunya. 
Hritik mengabari Ayahnya tentang kondisi Isha melalui pesan singkat. Tidak butuh waktu lama, pesan balasan datang.

Ayah:

Mungkin saja, istrimu sedang hamil, Alam. Selamat, kau akan segera menjadi seorang Ayah.

Bola mata Hritik membulat sempurna. Perasaan senang bercampur haru menyelimuti dirinya. Apakah benar dia akan menjadi seorang ayah? Dia akan segera mendapatkan julukan itu. Hritik tersenyum girang.

Hritik:

Kurasa begitu. Sejak semalam, Isha memang mual-mual. Aku sempat berpikiran seperti itu.

Ayah:

Semoga saja benar. Akhirnya, akan ada anak kecil yang memanggilku dengan sebutan kakek. Selamat, ya, Alam. Aku akam memberitahu Ibumu, dia pasti senang mendengarnya. 

Hritik:

Iya. Pasti Ibu senang.

Ponsel yang tadinya di tangan berpindah ke saku kemeja setelah seorang wanita berjas putih keluar dari pintu.

“Anda keluarga dari pasien?”

“Saya suaminya, Dok.” Hritik sudah tidak sabar mendengar kabar gembira yang dia nantikan.

“Bisa ikut ke ruangan saya sebentar, Pak?”

“Tentu. Tentu, Dok.” Hritik sangat bersemangat.

Sayangnya, kabar yang dia tunggu belum waktunya dia dengar. Dokter berkata padanya bahwa Isha terkena tipes akut dan harus menjalani pengobatan di rumah sakit. Hritik murung saat keluar dari ruangan dokter tadi. Dia ragu mengabari Ayahnya lagi jika tebakan mereka salah. 

Fikar Not [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang