#17

30 5 4
                                    

⨳   ⨳   ⨳

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⨳   ⨳   ⨳

Malam semakin larut, semua lampu telah padam. Hanya lampu di sepanjang jalan yang menjadi penerang.

Pantulan cahaya dari televisi bahkan menjadi teman malam Kavin. Pemuda itu tengah berkutat dengan buku tebalnya, padahal biasanya Kavin tidak pernah seperti ini— mengerjakan tugas sambil menyalakan televisi.

"Hah!" Kavin membuang napas kasar dengan melempar kacamata miliknya pelan ke atas meja. Kavin memijat dahinya yang terasa pening.

"Yara, kamu dimana?" ujarnya pelan.

Yara, nama panggilan darinya untuk Ayara. Meski ia tidak pernah memanggil secara langsung, jika Kavin hebat dalam segala hal, tidak berlaku jika sudah berurusan dengan Ayara. Dia begitu lemah, meski masih saja ia mengelak.

"Kamu bikin saya khawatir, Yara."

Jika Kavindra sudah berbicara formal begini, itu berarti dia tengah serius dan begitu khawatir pada Ayara. Ada rasa marah dalam dirinya, tapi ia mencoba mengesampingkan itu dulu. Mengetahui keberadaan Ayara dimana, jauh lebih penting.

Pasalnya, kalian ingat bukan? Terakhir kali gadis itu pulang dengan keadaan seperti apa?

Luka di beberapa bagian tubuh, dan itu yang kini Kavin pikirkan. Sebetulnya, sejak tadi— jam pulang kerja Ayara sudah lewat, Kavin ingin pergi mencarinya. Tapi ia takut gadis itu pulang saat dirinya pergi keluar mencarinya, itu kenapa ia masih berada di sini.

"Aku harus cari. Harusnya aku gak akan pernah setuju sama kesepakatan itu, Yara." Kavin terlihat begitu frustrasi dan gusar juga gelisah.

Sejak pertemuan pertama keduanya di cafe, Kavin langsung menginterogasi Ayara selepas ia pulang dan membersihkan diri.

Keduanya masih bungkam. Kavin yang sedikit kecewa, karena merasa dibohongi. Dan Ayara, gadis itu bingung ingin memulai darimana. Terlebih tatapan dingin Kavin, membuatnya semakin gugup dan takut.

"Gak mau jelasin?" tanyanya membuka obrolan, meski dengan nada dingin.

"Eumm... A-anu, kak. A-aku..."

"Apa?"

Ayara semakin memainkan jarinya, kebiasaan gadis itu kala gugup dan takut.

"Maaf," hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Ayara. Kavin menaikkan sebelah alisnya, "Buat?"

"Kak...," ujarnya dengan memelas. Kavin menghela nafas pelan, kini ia merubah duduknya menjadi tegap dan menatap lurus Ayara.

"Bisa tolong kamu jelasin?"

Ayara mengangkat kepalanya perlahan, menatap Kavin dengan perasaan sedikit takut. "Maaf, kak. Aku gak bermaksud apa-apa. Aku gak mau terus-terusan di biayain sama kak Kavin."

2190 hours with TiergartenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang