#24

31 4 0
                                    

Ayara sudah sadar dari tiga hari yang lalu. Kondisinya pun perlahan membaik. "Ra, udah waktunya minum obat."
Ayara yang tengah asik memperhatikan gedung pencakar langit pun menoleh, "Iya kak."

Jendra, siapa sangka laki-laki itu yang terus menemaninya sejak tiga hari lalu sampai sekarang. Katanya, Kavindra tengah sibuk mengurus tugasnya sebagai asisten dan jadwal kuliahnya yang sangat padat akhir-akhir ini. Ayara percaya, Kavindra tidak mungkin bohong. Begitu harapnya.

"Ngomong-ngomong..., tapi maaf banget sebelumnya. Lo..., beneran gak mau temuin dia sekali aja?" tanya Jendra hati-hati. Walau Jendra tau gak seharusnya mengajukan pertanyaan itu, terlebih mengingat pesan Kavindra.

"Aku bingung kak. Satu sisi aku selalu inget orang itu kalau ketemu dia, tapi satu sisi aku juga gak tega. Aku tau niat dia tulus kali ini, tapi..., aku gak bisa." begitu katanya.

Jendra mengerti. Sangat sulit untuk seseorang yang memiliki trauma, meski bisa disembuhkan, tapi semua itu gak segampang yang kita kira.

"Gapapa. Gua paham kok, tapi bener kan lo gak takut atau ada rasa trauma kalo sama gua?"

"Ya..., maksud gua, mau gimana juga gua kan cowo. Kalo sama Kavin, gua bisa paham lo nyaman sama dia. Keliatan kok," katanya.

Nama itu, seketika membuat Ayara termenung. Rasanya... rindu. Ayara rindu melihat laki-laki kaku itu kala wajahnya semerah tomat, perhatiannya, dan masih banyak lagi.

"Aduh..., maaf-maaf gua lupa." Jendra tau apa yang dipikirkannya."Jangan terlalu dipikirin ya, nanti Kavin dateng jengukin lo kok. Gak mungkin sahabat gua lupa sama lo."

"Udah bucin akut soalnya," lanjutnya setengah meledek. Ayara tersenyum tipis.

***

"Mau sampai kapan lo begini, sialan?!" makinya pada seseorang di sebrang sana.

"Gua akan selesain semuanya."

"Kalo gagal lagi? Dan apa lo akan menjamin keselamatan dia? pikirin itu."

"Lo paham kan maksud gua?"

"Sejauh ini aman. Dia cuma sesekali suka bengong, tapi gak pernah nanyain lo lebih jauh. Yang dia tau, lo sib.uk sama kerjaan lo dan kuliah."

"Secepatnya. Kalo bisa secepatnya lo selesain semuanya, gua gak bisa kaya gini terus. Berlaga kaya orang bodoh, gua ngerasa bersalah banget, Vin."

"Gua janji. Tolong jagain Yara gua, ya. Gua percaya sama lo," pesannya.

"Yara lo, Yara lo. Mimpi aja lo! Jadian juga belum. Pusing banget gua liat lo lama-lama, sekalinya suka cewe gini banget heran."

"Udah, gua tutup dulu. Nanti kelamaan ninggalin Ayara. Jaga diri lo baik-baik, inget!"

sambungan telepon pun terputus. Jendra menghela napas lelah. "Mau sampai kapan gua cosplay jadi mata-mata kaya gini."

Di lain tempat, Ayara tersenyum manis memindai setiap sudut di taman rumah sakit. Gadis itu merasa bosan hanya melihat dinding putih pun gedung-gedung tinggi. Alhasil, di sinilah Jendra membawanya.

Ada beberapa anak kecil yang dirawat di sini, di hiasi berbagai suara. Menangis karena harus minum obat, tengah bermain, dan banyak lagi. Pemandangan itu mengingatkannya pada ibunya— menemaninya bermain kala itu.

"Ama..., Aya kangen. Ama apa kabar? Ama pasti bahagia banget ya, di sana," gumamnya.

"Ama kamu pasti bahagia kok, di sana. Terlebih liat anak gadisnya yang terus bertahan walaupun ada aja masalah yang dateng. Dan milih buat gak nyerah gitu aja," ujar seseorang tiba-tiba.

2190 hours with TiergartenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang