4. Sebuah Cerita

1.2K 138 7
                                    

Warn!
Semua adegan kekerasan, suicide, dan harsh word tidak untuk ditiru!
Bijaklah dalam memilih bacaan!

Happy reading🐻


Gilang dan gitar adalah satu perpaduan yang sempurna. Ibaratnya, tak ada gitar, maka tak ada Gilang. Begitu pula sebaliknya. Karena kemanapun cowok itu melangkah, ia selalu menggandeng gitar bersamanya.

Gitar silver dengan ukiran 'Meru' di badannya itu telah menjadi saksi akan perjalanan karir dari Deparost sendiri. Gitar yang Gilang dapatkan dari hasil mengumpulkan uang manggung di kafe-kafe.

Namun entah mengapa, ada yang aneh hari ini. Gilang tak membawa Meru bersamanya lagi. Sena bahkan baru menyadari saat setelah Shabin angkat bicara mengenai hal ini.


"Lo nggak bawa Meru?"

Gilang yang sedang menunduk, mengisi setiap kolom dari formulir pendaftaran kompetisi dance itu tampak membatu. Mungkin Gilang mampu menipu temannya yang lain, tapi tidak dengan Shabin. Pemuda berlesung pipi itu memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi.

"Lupa."

Singkat. Itu saja. Gilang bahkan tak berniat mendongak untuk sekedar menatap iris hitam milik Shabin. Jujur saja, pertanyaan yang Shabin lontarkan justru juga Gilang tanyakan pada dirinya sendiri.

'Dimana Meru?'

Ia sendiri bahkan sudah kewalahan mencari Gitarnya sejak kemarin malam. Kecerobohannya meninggalkan Meru di ruang tengah malam itu membuat hatinya gelisah bukan main. Setiap Gilang bertanya pada Biru, pemuda itu selalu bilang tidak tahu.

Gilang hampir frustasi dibuatnya.

Sampai ketika cowok itu berjalan menyusuri lorong-lorong kelas, dan mengendarai Keyla saat pulang, pikiran itu tak luput dari ingatannya. Tak apa jika gitar itu disimpan bunda atau dipinjam oleh Dean. Tak masalah.

Gilang hanya takut gitar itu jatuh ke tangan Leo. Itu saja.


Tak terasa malam telah berganti. Langit yang semula cerah dengan hamparan jingga telah menjelma dan membunuh cahaya.

Gilang masih berputar-putar di jalan, enggan pulang ke rumah. Bukannya benci. Hanya saja, Kadang-kadang rumah terasa kosong meskipun orang-orang di dalamnya lengkap. Ia benci memerasa terbiasa dengan eksistensinya sebagai hantu yang tak terlihat atau tiba-tiba presensinya berubah sepenting permata saat Dean terluka. Ditambah lagi, Leo menjadi alasan terbesar mengapa Gilang enggan cepat-cepat pulang. Biarlah, untuk saat ini, Gilang ingin menikmati waktu dalam kesendirian.

Usai melaksanakan solat maghrib, Gilang memilih duduk di pelantaran masjid. Menatap langit tak berbintang di atas sana sambil menyeruput es cekek yang dijual seribuan di halaman halaman masjid.

Ternyata Galang benar. Solat adalah satu bentuk syukur dan obat bagi hati yang resah. Ia jadi teringat saat pertemuan pertamanya dengan anak kelas 10 yang terlampau cerdik itu. 5 bulan yang lalu. Di awal-awal semester 1.




"Mending kurang-kurangin yang kayak gini, bang. Sayang tangan lo kalau cuma jadi pelampiasan doang. Mending gunain tuh tangan buat bikin karya, nih. Kayak gue."

Galang menyodorkan buku gambarnya untuk Gilang lihat. Ada ukiran batang pohon yang cukup besar dengan daun yang berguguran, mengenai seseorang yang duduk menyandar pada batangnya. Orang itu tampak damai disana, memangku sesuatu yang Gilang tebak adalah sebuah laptop di pangkuannya.

Gilang buru-buru menutupi pergelangan tangannya yang terekspos menggunakan lengan jaket, sangat malu karena tak sengaja menampakkan pergelangan tangan yang mengenaskan itu. "Apa hebatnya? Pohon mati kayak gini, mah, gue juga bisa kali."

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang