29. Keputusan Terakhir.

718 78 3
                                    

Bagi Gilang, menunggu Ayah dan Bunda menyayanginya tak semudah membalikkan telapak tangan. Gilang bersumpah, jika ia membenci dirinya. Benci saat tak bisa membalas perlakuan kasar sang Bunda, benci ketika diam saja saat difitnah Dean dan Gita dan berakhir dipukuli Ayah, benci saat ia tak mampu membantah kala Biru memerintah dan melarangnya ini dan itu.

Gilang melihat presensi Jaka yang mati-matian menahan Bella agar tidak nekad masuk ke kamar rawatnya. Juga, Gilang melihat bagaimana para wartawan mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka. Ia pun tak tuli untuk mendengar semua caci dan maki Bunda. Hatinya sakit. Namun, untuk merasakan sakit itu saja hatinya tak lagi bersedia. Mati rasa? Begitulah gambarannya.


"Anak haram!"

Gilang pun melihat Jaka yang berusaha sendirian menahan agar Bunda dan Gita tak menerobos masuk, ia pun menyaksikan Jaka yang penuh rasa bersalah karena tak mampu mengalahkan kekuatan si wanita paruh baya.

"Kalian berdua keluar sekarang atau aku panggil satpam?"

Bella tak menghiraukan, menatap Gilang bengis seraya melayangkan tangan ke udara. Gilang pun sudah menutup matanya, bersiap menerima tamparan. Namun, tak berapa lama, wanita itu kembali menurunkan tangannya. Sebab, mungkin ia sadar bahwa banyak pers yang menunggu di luar sana.

"Puas kamu sekarang?"

Gilang tak bergeming. Ia masih terbaring lemas dengan jarum yang menancap di lengan serta nasal canula yang terpasang di hidung.

Anak itu menatap Bella dan Gita bergantian, tanpa ekspresi. Entah enggan bereaksi atau memang tubuhnya yang tak memiliki cukup energi untuk membuat ekspresi.

Tentang ucapan Bella, ia paham betul apa yang wanita itu maksudkan. Sebagai anak yang lahir dan tumbuh di generasi teknologi, mana mungkin ia tak tau tentang berita yang tersebar. Bahkan alasan kenapa anak itu mengalami serangan panik tadi malam adalah karena ia melihat berbagai artikel, yang menyebabkan berbagai memori buruk bermunculan, serta sosok Leo yang berkali-kali datang menghantuinya.

Bella geram. Wanita itu lantas mencabut nasal canula yang bertengger di hidung sang putra, serta jarum infus yang menancap di tangan si anak. Mata Gilang membola, darah mulai bermuncratan dari pergelangan tangannya. Jaka yang melihat itu tak tinggal diam. Ia tarik bahu Bella dari belakang hingga membuat wanita itu terhuyung. Cowok itu buru-buru menghampiri Gilang, lalu membalut darah yang bercucuran di lengan sang sahabat dengan merobek ujung kaos yang ia kenakan.

Bella meradang, ia kembali mendekat lalu menarik Gilang begitu saja, membuat anak itu kewalahan dalam menyamai langkah sang Bunda.

"Kamu harus menyangkal semuanya di hadapan wartawan. Dasar anak gak tau diri kamu! Setelah semua yang suami saya lakukan, ini balasanmu?"

Gilang berusaha sekuat tenaganya menahan langkah agar tak terseret oleh Bella. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk mencengkram tangan Bella guna berusaha melepaskan genggamannya.

"Bunda, sakit!" Nada bicara Gilang keras dan menggema. Ia membentak. Membuat langkah Bella terhenti dan menghempaskan tangannya hingga membuat Gilang sedikit terhuyung. Beruntung, Jaka dengan sigap menahan Gilang dari belakang. Cowok itu bahkan dengan sigap menyembunyikan Gilang di balik punggungnya.

"Jangan buat ribut di rumah sakit, selagi saya masih berlaku sopan," ujar Jaka mengancam.

Gilang berdesis. Tangannya nyeri sekali. Bahkan balutan kaos putih milik Jaka di lengannya sudah memerah karena darah yang tak henti mengalir.

"Anak kemarin sore tau apa kamu? Jangan ikut campur, ini urusan keluarga!"

Bella menarik tubuh Gilang, lagi. Melewati Jaka begitu saja. "Jelas ini menjadi urusan saya sebagai teman Gilang!" Jaka berusaha melepaskan cengkraman Bella, tapi gagal, ia lalu bergegas menghampiri Gita yang berdiri diam di samping ranjang. "Lo kenapa diem aja? Itu adek lo lagi kesakitan, bego!"

REDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang